Kerajinan Payung Geulis Kurang Diminati Anak Muda Tasikmalaya, Perajin Berharap Ada Regenerasi

Payung Geulis Tasikmalaya merupakan Warisan Budaya Takbenda. Sayangnya, minat anak muda Tasikmalaya terhadap Payung Geulis dinilai kurang.

|
Penulis: Aldi M Perdana | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Priangan/ Aldi M Perdana
Debor (tengah) mencoba melukis Payung Geulis Tasikmalaya bersama Eri Aksa (kanan) dari Sanggar Kinanti. 

Laporan Jurnalis TribunPriangan.com, Aldi M Perdana

TRIBUNJABAR.ID, KOTA TASIKMALAYA - Payung Geulis Tasikmalaya merupakan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Jawa Barat yang disahkan melalui sertifikat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bernomor SK 372/M/2021.

Sayangnya, minat anak muda Tasikmalaya terhadap Payung Geulis dinilai kurang.

Hal tersebut diutarakan Eri Aksa, pemilik Sanggar Kinanti yang menggeluti kerajinan Payung Geulis sejak 2010 silam.

"Harapan saya, ya, ada regenerasi tentu saja, karena perajin kerangkanya sudah pada tua dan semakin berkurang," ungkapnya pada Selasa (21/5/2024).

Baca juga: Lilis Boy Minta Masyarakat untuk Memperdayakan Produk dan Kerajinan Tangan Khas Cianjur

Menurut Eri, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian Payung Geulis Tasikmalaya yang pernah berjaya di era 1955 hingga 1968 sebagai salah satu ornamen yang lekat dengan mojang priangan.

"Perlu adanya peran pemerintah, karena ini salah satu warisan ikon Tasikmalaya. Sebisa mungkin melestarikan Payung Geulis ini sendiri," ujarnya.

Dengan digelarnya acara-acara yang mempromosikan kerajinan Payung Geulis, Eri menilai bahwa itu akan membuat para perajin tetap produksi.

"Perkembangannya dari tahun ke tahun sempat bagus, tapi waktu itu lagi bagus-bagusnya, ada Covid-19, jadi sempat anjlok," ucap dia.

Saat ini, tambah Eri, meski kurang diminati anak muda, namun produksi Kerajinan Payung Geulis mulai membaik.

"Alhamdulillah, ada pesanan lagi, kebanyakan dari luar kota," ucapnya.

Hal tersebut lantaran Payung Geulis Tasikmalaya di masa sekarang, difungsikan sebagai sarana dekorasi dan souvenir, bukan sebagai penahan hujan atau terik matahari.

"Maksimal produksi itu 500 Payung Geulis per bulannya. Kisaran harga paling murah itu Rp 35 ribu sampai Rp 50 ribu. Tahun-tahun yang lalu memang produksi mulai turun, karena ada kendala di perajin kerangkanya 'kan, sementara kurang ketertarikannya generasi muda juga. Sekarang paling hanya 8 orang (pembuat krangka). Dulu banyak, sampai di atas 20 orang," paparnya.

Sedang Eri mengaku bahwa dirinya merupakan generasi terakhir pelukis Payung Geulis Tasikmalaya.

"Soal generasi pelukisnya sendiri, mungkin saya generasi terakhirnya. Saya sudah aki-aki," tutupnya sambil tertawa.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved