Riset Sharing Vision: Belanja Daring Masyarakat Indonesia Telah Jadi Arus Utama

Orang Indonesia sudah sangat biasa untuk berbelanja secara online, bahkan warga yang tinggal di desa.

Editor: Siti Fatimah
Shutterstock
Ilustrasi belanja online 

"Fenomena menarik lainnya yang kami dapatkan adalah lebih dari 30% responden berbelanja melalui media sosial lebih dari 2 kali dalam sebulan. Namun sayangnya, pengalaman tidak menyenangkan ketika belanja di medium ini, proporsinya sangat tinggi. Sebab penipuan lewat media sosial meningkat, jadi perlu ada pengetatan dari sisi regulasi maupun penegakan hukum," katanya. 

Jeff menjelaskan, 13% responden menggunakan fintech lending atau meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tren-tren tahun-tahun sebelumnya.

Adapun rangking nama layanan yang responden gunakan adalah Kredivo, Akulaku, Koinworks, AdaKami, Danacepat, Modalku, Investree, Amartha, Akseleran, dan Flexi Cash by Jenius. 

Mengapa masyarakat Indonesia lari ke layanan ini?

Jawaban terbesarnya adalah selain proses cepat dan mudah, juga dikarenakan persyaratannya dinilai tidak rumit.

Proses pengajuan sendiri rata-rata membutuhkan waktu kurang dari 1 jam sampai uang pinjaman cair!  

"Riset kami menemukan 23% responden menyatakan pernah menggunakan layanan PayLater dan  Shopee Paylater adalah yang paling banyak digunakan. Motivasi utamanya adalah karena lebih fleksibel saat ada kebutuhan yang mendesak," katanya. 

Karena itu, sambung dia, masyarakat dan pemerintah perlu semakin awas melihat kecenderungan booming pinjaman online (pinjol) yang diindikasikan hasil survey tersebut maupun realitas yang memang sedang ramai diperbincangkan oleh publik. 

Baca juga: Belanja Online di Asia Tenggara Meningkat, UKM Indonesia Bisa Tembus Pasar Ekspor Lewat Digitalisasi

Budi Sulistyo mengatakan, dari sisi IT, dua problem masih mudah ditemukan adalah masalah availability (ketersediaan layanan dan fungsi yang benar) serta masalah Atomicity (transaksi gagal, setengah berhasil, atau gagal namun dianggap berhasil atau sebaliknya). 

Selain itu, riset menunjukkan lebih dari 20% responden mengaku akun media sosial-nya pernah dibobol/ dicuri dengan 9% diantaranya mengalami data pribadi nya digunakan orang lain untuk penipuan. 

Kemudian, 4%-11?ri total responden pernah menjadi korban berbagai penipuan digital. Dimana paling banyak mengalami yaitu sms/WA penipuan yang meminta mengirimkan kode OTP.

Maka itu, sebagian besar responden mengalami kerugian waktu karena penipuan sementara lebih dari 30% responden mengalami kerugian uang akibat penipuan digital.

Pemerintah dan para penyedia layanan maupun masyarakat pengguna layanan perlu strategi baru yang lebih efektif dalam mengurangi jumlah korban penerobosan keamanan informasi maupun penipuan siber serta bersama-sama mengawal dan melaksanakan implementasinya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved