Ramadhan 2024

Fakta tentang Munggahan, Tradisi Menyambut Bulan Puasa Ramadhan Masyarakat Sunda, Berikut Sejarahnya

Berikut inilah beberapa fakta menarik tentang munggahan, tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan, berikut sejarah dan macam-macam kegiatan munggahan

Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Hilda Rubiah
SHUTTERSTOCK/ODUA IMAGES
Ilustrasi munggahan - Fakta tentang Munggahan, Tradisi Menyambut Bulan Puasa Ramadhan Masyarakat Sunda, Berikut Sejarahnya 

TRIBUNJABAR.ID - Berikut inilah beberapa fakta menarik tentang munggahan, tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan.

Munggahan dikenal masyarakat Sunda sebagai tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan.

Secara umum, tradisi munggahan ini dilakukan dalam bentuk kegiatan berbeda-beda.

Tradisi munggahan tersebut berbeda-beda tak luput karena keragaman adat istiadat dan budaya.

Tak ayal jika tradisi sebelum puasa Ramadhan tersebut diwariskan secara turun temurun dan masih dilestarikan di masyarakat.

Baca juga: 10 Tradisi Unik Menyambut Bulan Puasa Ramadhan di Indonesia termasuk Tradisi Munggahan di Jawa Barat

Lalu, apa saja fakta menarik tentang munggahan tersebut? Benarkah sejarah munggahan berasal dari ajaran Hindu ?

Berikut Tribunjabar.id ragkum fakta-fakta tradisi munggahan.

Arti Munggahan

Munggahan adalah tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan dikenal masyarakat suku Sunda atau Jawa Barat.

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisiata Kota Bandung, kata munggahan sendiri berasal dari Bahasa Sunda.

Adapun arti munggahahan berasal dari kata munggah artinya naik.

Demikian makna munggahan artinya naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.

Dikutip dari Kompas.com, sejarah munggahan sedikit banyak berkaitan dengan masuknya Islam ke Indonesia, sekitar abad ke-7.

Tujuan Munggahan

Jika dimaknakan tujuan munggahan bagi masyarakat muslim Sunda tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.

Selain itu, munggahan dimaknai bertujuan agar terhindar dari perbuatan tidak baik selama menjalani ibadah puasa nantinya.

Tujuan munggahan tersebut juga dimaknai sebagai upaya membersihkan diri dari hal-hal buruk selama setahun ke belakang.

Selain itu, munggahan juga bertujuan menjadi momen silaturahmi baik antar keluarga dan tetangga hingga orang-orang terdekat.

Macam-macam kegiatan munggahan

Hal yang menjadi fakta menarik munggahan, kegiatannya yang bermacam-macam dan berbeda-beda.

Munggahan sebagai tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan tersebut ada yang dilakukan sebagai momen rekreasi, ritual membersihkan diri dan lain sebagainya.

Munggahan sebagai momen rekreasi di mana masyarakat menyambut bulan puasa Ramadhan dengan bepergian.

Mereka akan memanfaatkan momen sebelum bulan puasa Ramadhan tiba dengan jalan-jalan ke tempat wisata atau rekreasi.

Baca juga: Apa Itu Munggahan? Tradisi Masyarakat Sunda yang Biasa Dilakukan Menjelang Bulan Puasa Ramadan

Selain pergi ke tempat wisata, ada juga yang melakukan kegiatan munggahan dengan berkumpul bersama keluarga hingga berkumpul dengan tetangga-tetangga sekampung.

Momen berkumpul bersama keluarga dan tetangga tersebut juga menjadi ajang silaturahmi dan saling berbagi.

Sebagian masyarakat saat munggahan saling berbagi daging dan makanan seperti makan nasi liwet bersama-sama.

Warga menyambut ramadan atau munggahan dengan makan bersama nasi liwet kekinian
Warga menyambut ramadan atau munggahan dengan makan bersama nasi liwet bersama (Istimewa)

Adapun munggahan sebagai ritual membersihkan diri di mana masyarakat yang mandi berendam di sungai atau laut.

Hal tersebut dilakukan sebagai simbol mensucikan diri agar melaksanakan ibadah puasa dalam keadaan bersih dan suci.

Hukum Munggahan dalam Islam

Dilansir dari ceramah ulama Buya Yahya di kanal Youtube Al-Bahjah TV, dijelaskan hukum munggahan dalam Islam.

Buya Yahya menejelaskan hukum munggahan dalam Silam diperbolehkan dengan syarat tidak ada unsur keyakinan di dalamnya.

Keyakinan yang dimaksud Buya Yahya seperti melakukan tradisi tersebut dengan meyakini bisa mendatangkan rezeki.

“Misal kita percaya sesuatu tersebut bisa mendatangkan rezeki, itu termasuk musyrik,” ujar Buya Yahya.

Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan setiap daerah memiliki tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan.

Ia menyebut umumnya tradisi tersebut dilakukan adanya keyakinan selain kepada Allah SWT.

Oleh karena itu menurutnya selama tradisi tersebut tidak buruk maka boleh dilakukan.

“Kebiasaan baik jangan dihilangkan, asal tidak ada maksud buruk,” ujarnya.

Baca juga: Tempat Wisata Cianjur di The Nice Funtastic Park, Cocok untuk Liburan Munggahan di Perbukitan Hijau

Buya Yahya melihat tujuan munggahan tersebut seperti memberikan makanan dan bersedekah maka hal itu dibolehkan.

Bahkan, jika niatan sedekah itu karena Allah SWT maka sangat dianjurkan.

Selain hukumnya tidak haram, hukum munggahan tersebut juga dinilai tidak bid’ah.

Dilansir dari Islamqa.info, kebiasaan menkhususkan bulan Ramadhan tidak termasuk bid’ah.

Hal itu lantaran selama tradisi tersebut menyimpang dari keyakinan kepada Allah SWT dengan pengkhususan tertentu, karena hal terebut hanya masuk pada kategori kebiasaan atau budaya.

Sementara itu diketahui perbuatan atau kegiatan tertentu disebut bidah jika mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.

من أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ  
رواه البخاري  2697  ، ومسلم  1718 

“Barang siapa yang mendatangkan yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak”. (HR. Bukhori: 2697 dan Muslim: 1718).

Imam Syathibi menjelaskan suatu disebut bidah jika metode baru yang dibuat dalam agama, untuk menyaingi dalam syariat, di mana prilakunya itu seperti berprilaku dalam agama.

Dalam hal ini termasuk di dalamnya seperti berkomitmen dengan ibadah-ibadah tertentu, pada waktu-waktu tertentu, yang belum ada penentuannya di dalam syariat, seperti komitmen dengan puasa nisfu sya’ban dan qiyamul lail pada malam harinya”. (Al I’tisham: 1/51).

Demikian komitmen dengan kebiasaan tertentu, pada waktu tertentu, maka tidak masuk dalam kategori hukum bidah.

Hal senada juga disampaikan Syeikh Ibnu Utsaimin.

“Perbedaan antara ibadah dan adat, ibadah itu apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk mendekatkan kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya.”

Adapun adat adalah apa saja yang menjadi kebiasaan dilakukan masyarakat, seperti makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, kendaraan, interaksi sesama, dan yang serupa dengannya.

Ada juga suatu kegiatan atau perbuatan hukumnya dilarang dan haram sampai ada dalil yang menyatakan bahwa hal itu sebagai ibadah.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran Surat Asy Syura: 21.

 أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ الله

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”. (QS. Asy Syura: 21).

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved