Kisah Dede Tresnawan, Guru SLBN B Sumedang, Disabilitas Netra Tapi Sekolah Sampai Sarjana

Keterbatasan tak membuat Dede Tresnawan (40) menyerah. Dede merupakan penyandang disabilitas tunanetra.

Penulis: Kiki Andriana | Editor: Giri
Tribun Jabar/Kiki Andriana
Dede Tresnawan (40) saat diwawancara TribunJabar.id, di SLBN-B Sumedang, Cimalaka, Sumedang, Senin (11/12/2023).  

Ya, selain mahir berbahasa Inggris, Dede piawai bermain keyboard. Tuts-tuts pianikal yang warna dan ukurannya sama itu oleh Dede dimainkan tanpa mengandalkan pengelihatan. 

"Bermain musik menyelamatkan saya dari masa-masa krisis, ketika saya mulai mengajar tetapi belum diberi honor. Saya menyambung hidup dari bermain keyboard di tempat wisata di Kampung Karuhun, Citengah. Waktu itu diminta langsung oleh pemiliknya, Pak Haji Nana (mantan Ketua PHRI Sumedang), untuk manggung setiap Sabtu-Minggu," kata Dede. 

Riwayat pendidikan Dede Tresnawan dimulai pada tahun 1992. Pada tahun itu, dia masuk ke SLB Negeri B Sumedang untuk jenjang SD lulus pada 1998, dan SMP di tempat yang sama lulus tahun 2001. 

Memasuki jenjang SMA, Dede tak mau lagi sekolah di SLB. Dia lalu hijrah ke Cicalengka, Kabupaten Bandung, untuk bersekolah di SMA PGRI Cicalengka.

Dede menegaskan, itu adalah sekolah umum, untuk orang-orang normal. 

Baca juga: Kasus Penemuan Mayat Diikat Lakban di Cikarang, Dibunuh dengan Racun Tikus, Motif Karena Asmara

Namun, Dede bisa mengikuti pelajaran. Bahkan di tempat inilah dia mulai tertarik dan begitu mendalami bahasa Inggris, meski ketika itu tidak ada penjurusan bahasa di sekolahnya. 

"Tahun 2001-2004 ke SMA PGRI Cicalengka itu SMA umum, bukan untuk disabilitas netra. Saya akhirnya ambil jurusan IPS dan semakin tekun belajar bahasa Inggris," katanya. 

Selasai SMA, Dede semakin haus pengetahuan, haus ilmu, sehingga dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke STKIP Cimahi. Dia kulia pada 2004-2008.

"Ada orang bertanya mengapa mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan bukan Pendidikan Disabilitas, saya jawab, saya ini orang disabilitas, untuk apa belajar lagi ilmu disabilitas," kata Dede. 

Dede yang kini tinggal di Dusun Marga Mukti, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka,mengakui, cita-citanya dulu bukanlah menjadi guru bahasa Inggris, namun menjadi musisi, seniman musik. 

"Cita-cita memang bukan menjadi pengajar, awalnya di musik, saya ingin jadi musisi dan penyanyi ketika saya masuk (SLB). Itu karena saya disuguhkan teman-teman yang banyak seninya tinggi. Lalu saya mengenal bahasa Inggris," katanya. 

Dia berpikiran, menjadi pengajar tentu akan memberi dampak lebih besar untuk sesama. Namun, dia memastikan, bukan berarti bermusik tidak memberi dampak baik. 

Selama 13 tahun mengajar, Dede masih berstatus sebagai honorer yang kini hanya mendapatkan honor sebesar Rp 2,4 juta per bulan.

Baca juga: Sambaran Petir Renggut Nyawa Dua Petani di Sumedang, BPBD Imbau Warga Tak Lakukan Aktivitas Ini

Dulu memang dia diberi tempat tinggal di asrama SLB Negeri B Sumedang. Bamun sekarang telah memilih tempat tinggal lain bersama istri yang bernama Asih (43) dan dua anaknya. 

Dia berharap, ada perhatian khusus dari pemerintah kepada orang-orang seperti dirinya.

"Bagi pemangku kebijakan, perhatikan kami (honorer) yang nasibnya masing terkatung-katung," ucapnya. (*)

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved