Aktivis Mahasiswa Lintas Generasi Era 1998 - 2000 Bandung Kritisi Demokrasi Jelang Pilpres 2024

meski MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Para aktivis Mahasiswa Lintas Generasi menganggap hal itu belum cukup.

istimewa
Aktivis mahasiswa lintas generasi era 1998 - 2000 Bandung kritisi demokrasi jelang Pilpres 2024 

TRIBUNJABAR.ID - Keputusan MK terkait Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang dianggap sejumlah pihak telah memperlancar putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, di posisi saat ini, rupanya masih berbuntut panjang.

Majelis Kehormatan MK juga telah memutuskan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran, telah menyatakan yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Hal itu disampaikan salah seorang pembicara, Eko Arief Nugroho, yang merupakan mantan aktivis mahasiswa 1998 dari Keluarga Aktifis Mahsiswa Unpad (KAU), di acara “Bincang Politik: Arah Konsolidasi Demokrasi dalam Pemilu 2024”, yang diadakan di sebuah kafe di kawasan Punclut, Kota Bandung (24/11).

Menurut Eko, meski MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Para aktivis mahasiswa lintas generasi 1998 dan 2000-an, menganggap hal ini belum cukup.

Ia memandang Presiden Jokowi telah melakukan tindakan semena-mena terhadap konstitusi dengan memanfaatkan kekerabatan keluarganya dalam memengaruhi keputusan MK, reformasi telah dikorupsi.

“Kami menganggap Jokowi telah menodai semangat dan cita-cita reformasi 1998 yang kita perjuangkan untuk memberantas Nepotisme, dengan mengacak-acak konstitusi,’  ujar Eko.

Atas dasar ini lebih lanjut Eko mengantakan bahwa keresahan yang dirasakan para aktivis 1998 dan mahasiswa 2000-2023 pada dasarnya sama, yakni situasi ini meresahkan masa depan demokrasi, dan menganggap negeri ini tidak baik-baik saja.

"Beberapa keresahan yang timbul atas perkembangan ini sudah mulai direspons oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, akademisi di beberapa kampus seperti UI, Unpar dan mahasiswa di beberapa kota, seperti Surabaya dan Jogya yang diikuti massa mahasiswa ribuan orang," katanya.

Acara diskusi yang dipandu oleh Lukman Nurhakim, yang juga aktivis 1998 dan pernah aktif di Unit Studi Ilmu Kemasyarakatan-Unpar ini, diikuti oleh puluhan mantan aktivis mahasiswa 1998 yang dulu berasal dari berbagai kampus seperti Yodisman Sorata, Febrianto, Budi Hermansyah (Unpad), Opik (KM-ITB), Nicko Pardede, Ricky (Universitas Widyatama/STIEB), Anton Shulton (STHB), Irzal Yanuardi (Unisba), Sugeng (Unpas), dan lain lain, juga diikuti oleh sejumlah aktifis Mahasiswa era 2023-an, tercatat beberapa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa dari UNIKOM, UIN, Presma ITB, Presma UBK, Presma STIMIK dan STT Bandung.

Kemudian Eko mengatakan bahwa sekalipun kondisi sekarang berbeda-beda relasi dalam gerakan mahasiswa berbeda karena adanya tahun politik, tapi tidak menutup kemungkinan aksi-aksi akan menjadi semakin besar.

Aktivis 1998 lain, Nicko Pardede, mengemukakan hal senada.

“Gerakan Mahasiswa tahun 2023-an, harus mulai mengkonsolidir di berbagai kampus untuk kembali turun ke jalan, agenda pilpres dan agenda internal terkait masa periode kepengurusan BEM jangan menjadi hambatan,"  ungkapnya.

Hal yang menarik justru diungkapkan oleh Yodisman Sorata dan Irzal Yanuardi,

"Kami aktivis 1998 telah melakukan kesalahan fatal, kami mendukung selama dua kali periode masa kepemimpinan pemerintah sekarang, namun yang terjadi dimasa akhir periode kedua, ada yang larut dalam nikmatnya berkuasa. Kami meminta maaf kepada generasi muda saat ini,”  ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved