Sejarah di Balik Gedung Yayasan Telkom hingga Munculnya Hari Bhakti Postel

Peringatan Hari Bhakti Postel jatuh pada 27 September setiap tahun. Tanggal 27 September ada kaitannya dengan momen perjuangan pengusiran penjajah.

|
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Giri
Tribun Jabar/Putri Puspita Nilawati
Gedung bersejarah PT Pos dan Telkom. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Peringatan Hari Bhakti Postel jatuh pada 27 September setiap tahun.

Tanggal 27 September ada kaitannya dengan momen perjuangan pengusiran para penjajah oleh jajaran PT Telkom dan PT Pos Indonesia.

Satu gedung yang menjadi saksi bisu adalah yang berada di dekat Museum PT Pos Indonesia di dekat Gedung Sate, Bandung.

Gedung ini merupakan peninggalan Belanda dan diambil alih oleh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT). Selanjutnya gedung itu diambil alih dijadikan kantor PT Pos dan PT Telkom.

Nama-nama para pemuda yang berjuang mengusir penjajah pun terpahat pada monumen yang letaknya berada tepat di depan gedung bersejarah tersebut.

Gedung bersejarah yang kini digunakan untuk Yayasan Kesehatan Telkom dan Yayasan Pendidikan Telkom.
Gedung bersejarah yang kini digunakan untuk Yayasan Kesehatan Telkom dan Yayasan Pendidikan Telkom.

Pensiunan dari PT Telkom Indonesia, Bambang, menjelaskan, gedung ini menjadi saksi sejarah sebelum dan sesudah merdeka.

Pada saat Jepang masuk, gedung masih menjadi aset Belanda.

"Tokoh yang memperjuangkan adalah Angkatan Muda PTT, " kata Bambang di depan monumen di Jalan Cilaki, Kamis (21/9/2023).

Bambang menceritakan, peristiwa bersejarah itu bermula ketika seorang tokoh dari AMPTT, Soetoko, menginisiasi pertemuan antarpemuda pada 3 September 1945.

Para pemuda AMPTT yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Soetoko, Slamet Soemari, Joesoef, Agoes Salman, dan Nawawi Alif.

Monumen yang berisi pahatan nama AMPTT. 
Monumen yang berisi pahatan nama AMPTT.  (Tribun Jabar/Putri Puspita Nilawati)

Untuk merealisasikan pemindahan kekuasaan, dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Kantor Pusat PTT harus sudah dikuasai paling lambat akhir September 1945.

"Pada  23 September 1945, Soetoko berunding dengan Ismojo dan Slamet Soemari meminta kesediaan segera dari Mas Soeharto dan R Dijar untuk menuntut pihak Jepang supaya menyerahkan kekuasaan PTT secara damai," kata Bambang.

Setelah kekuasan direbut, mereka berencana untuk mengangkat Mas Soeharto menjadi Kepala Jawatan PTT dan R Dijar sebagai wakilnya.

Mereka pun menemui pimpinan PTT Jepang, Tuan Osada, untuk berunding dan mendesak agar hari itu juga pihak Jepang mau menyerahkan pimpinan Jawatan PTT secara terhormat kepada Bangsa Indonesia.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved