Nadiem Makarim Sebut Mahasiswa Tidak Wajib Skripsi, Pengamat dari UPI: Bukan Sesuatu yang Baru

Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Cecep Darmawan, setuju dengan kebijakan pemerintah.

istimewa
Pengamat kebijakan publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Cecep Darmawan. 

TRIBUNJABAR.ID - Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Cecep Darmawan, setuju dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek Nadiem Makarim menjadikan skripsi bukan satu-satunya syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 dan D4.

Sejumlah perguruan tinggi, ujarnya, bahkan sudah mulai menerapkannya. Salah satunya Universitas Terbuka.

"Di UT itu kan tidak ada skripsi, tapi lulusannya ada yang bisa melanjutkan ke Universitas Indonesia (UI) dan perguruan tinggi lain," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (29/8).

Namun, karena hal itu kini sudah menjadi kebijakan nasional, ujar Cecep, perlu diperjelas seperti apa saja bentuk lain dari tugas akhir selain skripsi tersebut.

Baca juga: Mahasiswa Tak Lagi Wajib Skripsi, Mendikbud Ristek Keluarkan Peraturan Baru. Disambut Mahasiswa

Setiap prodi, kata Cecep, harus menyiapkan pilihan kepada mahasiswa apakah ingin tetap membuat skripsi atau diganti bentuk lain.

"Bukan berarti tidak boleh skripsi, tapi boleh bentuk lain. Misalnya, kalau menganggap disiplin ilmu ini cocoknya skripsi, ya skripsi. Tapi, lebih bijak juga kalau Kaprodi itu memberikan pilihan saja kepada mahasiswa," katanya.

Setelah kebijakan ini resmi diterapkan, kata Cecep, setiap perguruan tinggi juga harus diberi waktu untuk beradaptasi dengan membuat aturan turunannya.

"Diterapkannya tergantung pada perguruan tinggi masing-masing, kan nanti pasti perguruan tinggi membuat peraturan rektor atau aturan turunannya," ucapnya.

Hal senada diungkapkan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Prof Atie Rachmawatie.

"Tentang peraturan yang tidak lagi mewajibkan membuat skripsi untuk mahasiswa S1, saya kira bukan sesuatu yang baru, karena lulusan S1 memang masih terbuka untuk mengembangkan minat dan kariernya. Artinya skripsi bukan satu-satunya ukuran kompetensi dalam dunia kerja," ujar Atie kepada Tribun Jabar, semalam.

Akan tetapi, jika lulusan S1 itu ingin mengembangkan kariernya sebagai ilmuwan, peneliti, atau dosen, skripsi diperlukan.

"Tapi jika dia mau jadi profesional, bisnis, wirausaha, justru tugas akhirnya berupa proyek jauh lebih bagus dan manfaat," ujarnya.

Arie mengatakan, baik skripsi maupun nonskripsi memiliki kelebihan dan kekurangan.
"Tinggal perguruan tinggi menyusun instrumen pengujian yang tepat bagi para lulusannya," ujarnya.

Belum tepatnya penghapusan skripsi untuk lulusan yang ingin mengembangkan kariernya sebagai ilmuwan, peneliti, atau dosen, juga diungkapkan Dr Tresna Wiwitan, dosen Ilmu Komunikasi Unisba.

Untuk mahasiswa Fikom yang berniat menjadi profesional, tugas akhir berupa pembuatan film dokumenter, video profil lembaga, atau pameran foto, tentu lebih tepat.

"Tapi kalau mahasiswa ingin melanjutkan ke jenjang S2 dan S3, mereka membuat skripsi," ujarnya.

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Bandung, Dra Euis Puspitasari MSi, mengatakan kebijakan pemerintah tak mewajibkan lagi skripsi bagi mahasiswa D4 dan S1 adalah kebijakan yang dinantikan.

"Sepengetahuan saya, sebetulnya di beberapa prodi sudah melaksanakan hal tersebut. Ini juga searah dengan kebijakan MBKM. Ketentuan ini memberikan landasan kuat bagi prodi untuk menerapkan hal tersebut," ujarnya.

Euis mengakui, kebijakan ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.

"Namun, di luar kelebihan dan kekurangannya, ketentuan ini harus didukung agar prodi dapat memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk tidak tertuju di karya ilmiah seperti skripsi, tetapi diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi lainnya dalam bentuk proyek seperti pembuatan film, atau proyek bisnis lainnya.

"Atau bahkan memberi peluang langsung bagi mahasiswa untuk mengganti skripsinya dengan membuat artikel untuk jurnal nasional terakreditasi," ujarnya.

Pendapat berbeda diungkapkan Ketua Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam (IAI) Persis, Nurdin Qusyaeri MSi. Menurutnya, Permendikbud Ristek No 53 tahun 2023 ini bisa memberikan dampak yang bisa mengkhawatirkan.
Salah satunya adalah akan berkurangnya standar evaluasi terhadap lulusan.

"Ini bisa menyebabkan perbedaan kualitas lulusan antar institusi, sulit untuk membandingkan prestasi mahasiswa dari berbagai universitas, dan mengurangi transparansi dalam penilaian," ujarnya.

Meskipun pendekatan berbasis proyek memiliki nilai praktis, ungkap Nurdin, ada keprihatinan bahwa ini mungkin mengabaikan pentingnya penelitian akademis dan kemampuan analitis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

"Skripsi tradisional mendorong mahasiswa untuk menggali topik secara mendalam, yang dapat membantu mengembangkan keterampilan kritis yang penting dalam dunia akademis dan profesional."

Kebijakan baru ini, menurut Nurdin, akan memicu terjadinya ketidakpastian hukum.
"Dalam hal pengambilan keputusan kelulusan oleh Kaprodi, mungkin ada ketidakpastian hukum dan konsistensi dalam penerapan aturan. Tanpa panduan yang jelas, mahasiswa dan dosen mungkin menghadapi tantangan dalam menavigasi persyaratan kelulusan yang berubah-ubah," ujarnya.

Nurdin mengatakan, skripsi bagaimanapun memberikan kontribusi kecil terhadap penelitian dan literatur akademis.

"Dengan mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk skripsi, potensi kontribusi terhadap penelitian yang lebih luas bisa berkurang, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan pengetahuan di Tanah Air," ujarnya.

Nurdin berpendapat, banyak industri dan pekerjaan masih memerlukan keterampilan analitis mendalam dan pengetahuan khusus yang didukung oleh penelitian ilmiah.

"Dengan mengurangi fokus pada skripsi, lulusan mungkin tidak siap secara optimal untuk memenuhi tuntutan profesional tertentu.

"Tanpa skripsi sebagai pengukur kemampuan akademis dan analitis, pertanyaannya adalah apakah lulusan benar-benar memiliki kemampuan yang diperlukan untuk berkontribusi dalam konteks akademis atau profesional," ujarnya. (nazmi abdurahman/cipta permana/arief permadi)

Artikel TribunJabar.id lainnya bisa disimak di GoogleNews.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved