Daya Saing Tak Meningkat, Ekonom Minta Pemerintah Segera Evaluasi Penerima Gas Murah

Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah

Editor: Siti Fatimah
istimewa
ilutrasi 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah yang dinilai telah membebani keuangan negara. Pasalnya sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp 29 triliun.

Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsudi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 15 triliun.

“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” kata Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin PhD, Selasa (8/8).

Baca juga: PGN Laksanakan RUPST 2023 dan Setujui Dividen 70 Persen Dari Laba Bersih 2022

Eddy menambahkan program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya.

Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.

“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun.

Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji dalam sebuah rapat dengan DPR pada April tahun ini.

Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama 2 tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara.

Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.

“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.

Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD 6, mampu bersaing di pasar domestik.

Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.

Pekan lalu Kementerian Perindustrian menyebut, produk keramik asal Cina masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir keramik asal Cina ini menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia menurun. Pada kuartal I 2023, utilisasi industri keramik Indonesia sebesar 75 persen,  turun dibandingkan kuartal I 2022 sebesar 78%.

Baca juga: PGN Subholding Gas Pertamina Catat Laba Bersih USD 86 Juta di Triwulan I 2023

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved