Firman Turmantara Respons Kenaikan Biaya Tarif QRIS 0,3 Persen: Tidak Sesuai UU Bisa Dibatalkan

Dalam ketentuan UU Konsumen disebutkan bahwa segala sesuatu yang akan dinaikkan harus berdasarkan persetujuan dari konsumen.

|
Freepik.com
QRIS adalah penyatuan berbagai macam QR dari berbagai penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menggunakan QR Code. 

Laporan Wartawan TribunJabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bank Indonesia resmi mengenakan biaya pajak layanan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) sebesar 0,3 persen mulai Juli 2023. 

Sebagai informasi, sebelumnya Merchant Discount Rate (MDR) QRIS tidak dipungut biaya. Meski saat pertama kali diluncurkan dikenakan tarif sebesar 0,7 persen. 

Adanya tarif 0,3 persen ini kemudian memicu beragam reaksi dari masyarakat.

Hal ini pun tak luput dari perhatian Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Banten DKI Jakarta, Firman Turmantara Endipradja.

Firman Turmantara menyebutkan bahwa kenaikan tersebut dapat membebankan konsumen. 

Menurut Firman, dalam ketentuan Undang-undang Konsumen No 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa segala sesuatu yang akan dinaikkan harus berdasarkan persetujuan dari konsumen. 

Dalam konteks tersebut, termasuk pada perjanjian. 

"Jadi suatu perjanjian bisa dikatakan sah, bila ada kesepakatan dari konsumen dan tidak melanggar undang-undang. Kalau tidak ada persetujuan dari konsumen itu perjanjiannya tidak sah," kata Firman yang juga Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI, kepada Tribunjabar.id, Senin (17/7/2023) malam. 

Ia menuturkan selain ada kesepakatan konsumen, harus sesuai dengan undang-undang setidaknya tidak melanggar Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. 

"Jika tidak sepakat, dapat dibatalkan dan atau batal demi hukum sesuai dengan undang-undang, atau dapat dibatalkan melalui pengadilan (MA) atau PTUN, ujarnya. 

Firman pun kemudian menyinggung kenaikan biaya QRIS dengan kenaikan tarif BUMN seperti listrik dan BBM.

Menurut Firman, kebijakan kenaikan tarif listrik dan BBM bisa juga dibatalkan. 

"Tidak bisa pemerintah menentukan tarif sepihak, sesuai dengan ketentuan undang-undang sebagai representasi rakyat, harus minta persetujuan DPR, atau sesuai dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen, meminta pertimbangan/masukan dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI," jelas Firman yang juga dosen Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Unpas dan Unpar.  

Sementara itu, Ema (30) salah seorang pedagang yang menggunakan QRIS untuk bertransaksi mengaku biaya pajak yang dikenakan akan memberikan dampak.

"Meski biaya nominalnya kecil, pasti akan berdampak meski tidak secara signifikan," ujarnya, saat ditemui Tribunjabar.id, Senin (17/7/2023). 

Ema mengaku tidak menambah harga pada produk yang dijualnya, meski aturan baru dibebankan kepada para pelaku UMKM. 

"Dari konsumen bila harga naik pasti akan dikeluhkan," ujarnya. 

Sejak pandemi, Ema mulai menggunakan QRIS untuk transaksi konsumen, lantaran MDR saat itu ditetapkan sebesar 0 persen.

Satu konsumen yang kerap menggunakan QRIS, Risma (24) mengeluhkan tarif pajak yang berlaku pada 1 Juli 2023 ini. 

"Sebenarnya aturan tersebut dibebankan kepada para pedagang. Namun, tak sedikit pedagang yang menaikkan harga. Secara tidak langsung dibebankan kepada konsumen," ujarnya, kepada Tribunjabar.id, Senin (17/7/2023). 

Dalam satu hari, Risma bertransaksi menggunakan QRIS sebanyak tiga kali. 

"Warteg saja sekarang sudah menyediakan layanan QRIS, dari menegah ke atas tersedia layanan di era digital saat ini," imbuhnya.  

Risma menuturkan, sosialisasi masif kepada para pedagang diperlukan guna mengantisipasi kejadian serupa. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved