Di Siderang Legok Mayoritas Warga Menikah pada Usia Dini, Tapi Nyaris Tak Ada yang Bercerai

Pernikahan dini dan perceraian kerap menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan. Namun, tidak di Kampung Siderang Legok...

Editor: Arief Permadi
DOKUMENTASI PENELITI UM BANDUNG
Para peneliti dari UMBandung berfoto bersama anak-anak di Kampung Siderang Legok, di sela penelitian yang mereka lakukan di sana, pertengahan Oktober 2022 lalu. 

BANDUNG, TRIBUNJABAR.ID -Pernikahan dini dan perceraian kerap menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan. Namun, tidak di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut.

Di Siderang Legok hampir semua warganya menikah pada usia dini. Namun, perceraian nyaris tak pernah ada di sana.

"Padahal biasanya pernikahan dini ini identik dengan perceraian. Ini yang membuat Kampung Siderang Legok dan kampung-kampung lainnya di Desa Cintanagara berbeda," ujar Dr Aziz Taufiq Hirzi, pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Bandung ( UMBandung ) saat memaparkan hasil penelitian timnya di Kampung Sindang Legok, Oktober lalu, di kampus UMBandung, Rabu (16/11/2022).

Kekhasan inilah, yang menurut Azis, yang membuat Kampung Sindang Legok bukan saja menarik, tapi juga penting untuk diteliti, termasuk tentang pola komunikasi yang mereka terapkan dalam keluarga, sehingga sekalipun rata-rata menjalani pernikahan pada usia dini, mereka bukan saja bisa terus mempertahankan pernikahan mereka, tapi hidup dengan bahagia dan memiliki banyak anak.

Azis mengatakan, ada 200-an kepala keluarga yang tinggal di kampung yang berada di kaki Gunung Cikuray, gunung tertinggi di Kabupaten Garut tersebut. Setiap keluarga rata-rata memiliki 6-14 anggota keluarga.

Karena menikah dalam usia muda, sebagian dari mereka masih tinggal bersama orang tua mereka.

"Sehingga tak heran, banyak rumah di kampung ini diisi oleh beberapa keluarga," ujarnya.

Di kampung ini, kata Azis, memiliki delapan, sembilan, sepuluh, bahkan sebelas, atau dua belas anak sudah menjadi kelaziman. Jarak antarkelahiran juga sangat pendek.

"Rata-rata hanya setahun," ujarnya. "Istilahnya tunji, sataun hiji. Setahun satu anak," tambahnya.

Tak heran, dibanding dengan rata-rata kampung lainnya di Kabupaten Garut, jumlah anak kecil di Kampung Sindang Legok terbilang sangat banyak. Data terakhir, Oktober lalu, jumlahnya sudah sekitar 450 anak.

Akil Balig
Bagi masyarakat di Kampung Siderang Legok, kata Azis, menikahkan anak pada usia dini bukan semata kelaziman. Menikahkan anak pada usia dini juga menjadi upaya para orang tua untuk menghindarkan anak-anak mereka dari pergaulan bebas.

Bagi mereka, masa akil balig adalah satu-satunya ukuran seorang anak memasuki masa dewasa dan sejatinya siap untuk menikah.

"Jadi, patokannya bukan batasan usia seperti yang disyaratkan negara, melainkan masa akil balig seperti yang diajarkan agama," kata Azis.

Dasar-dasar kehidupan beragama ini pula, yang menurut Azis, kemudian mewarnai pola komunikasi antaranggota keluarga di Kampung Siderang Legok.

"Bagaimana suami berkomunikasi pada istrinya, istri pada suaminya, anak pada orang tuanya, orang tua pada anaknya, semua berdasar pada tuntunan agama agama Islam yang dianut 100 persen warga di Siderang Legok. Pola komunikasi inilah yang terus menguatkan ikatan keluarga di antara mereka. Tak heran, sekalipun hampir semua pasangan di sana menikah pada usia dini, pernikahan mereka langgeng," ujar Azis. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved