Ketua PC NU Ciamis Nilai Politik Identitas Itu Sah-sah Saja, Asal Tidak Berlebihan
Politik indentitas itu sah-sah saja dan tidak mungkin dihilangkan. Tentu, asal tujuannya baik dan dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
Penulis: Andri M Dani | Editor: Giri
TRIBUNJABAR.ID, CIAMIS – Politik indentitas itu sah-sah saja dan tidak mungkin dihilangkan. Tentu, asal tujuannya baik dan dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
“Asalkan tidak lakukan secara kotor dengan tujuan yang tidak merusak, kenapa tidak? Politik identitas itu sah-sah saja,” ungkap Ketua PC NU Ciamis, Arief Ismael Chowas, pada kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih Pemilu Serentak 2024 yang berlangsung di Hotel Tyara Ciamis, Rabu (19/10/2022) siang.
Arief Ismael Chowas yang juga pengasuh Ponpes Miftahul Ulum Bangunsirna tersebut menjadi pembicara pembicara bersama Yanuar Prihatin yang merupakan anggota Komisi II DPR RI.
Acara itu dihadiri Makmun Heri Rojikin, Komisioner KPU Ciamis.
Kegiatan soisialisasi yang digagas oleh Komisi II DPR RI bersama KPU RI dihadiri sekitar 100 orang sebagian besar merupakan warga nadliyin.
Arief Ismael Chowas mengatakan, politik idenitas itu bukan suatu yang haram asal dilakukan cara yang baik dan tidak menyesatkan.
Selain itu tidak digunakan untuk kepentingan yang kotor.
Politik identitas yang sering digunakan, katanya, adalah identitas keagamaan.
Baca juga: Bakal Jadi Pj Wali Kota, Sekda Kota Cimahi Sebut Pemilu 2024 Pekerjaan Besar yang Harus Kondusif
Jadi tak mungkin identitas keagamaan digunakan untuk kepentingan yang kotor, digunakan untuk cara-cara jahat dalam mengapai kekuasaan.
NU menurut Arief Ismael Chowas bukanlah partai politik, tetapi bukan berarti NU tidak berpolitik.
“Karena NU juga berkepentingan dengan negara ini,” katanya.
Ulama-ulama NU tempo dulu, menurutnya, ikut memperjuangkan kemerdekaan negara ini.
Yanuar Prihatin pada kesempatan tersebut mengingatkan bahayanya politik identitas yang selalu muncul setiap Pemilu baik itu Pilpres maupun Pilkada.
“Bila porsi politik identitasnya berlebihan malah bisa menimbulkan perpecahan. Apalagi politik identitas yang dipakai berupa isiu-isu sensitif,” kata Yanuar Prihatin yang merupakan anggota DPR RI asal PKB dari Dapil Jabar X (Kuningan, Ciamis, Banjar, Pangandaran) tersebut.
Baca juga: Agung Laksono:Indramayu Luar Biasa, Golkar Sudah Siap Hadapi Pemilu 2024, Beri Pesan Ini untuk Kader
Politik identitas yang biasa digunakan setiap Pemilu, menurut Yanuar, di antaranya soal kesukuan, agama, ras, kelompok kedaerahan, kelompok latar belakang sekolah/pendidikan, kelompok pekerjaan, dan sebagainya.
“Politik identitas yang paling sering digunakan adalah agama. Dan itu powerfull,” katanya.
Politik identitas tersebut, menurut Yanuar, cenderung destruktif yang menimbulkan ketersinggungan antarkelompok.
Biasanya politik identitas tersebut muncul dari kelompok pinggiran yang ingin masuk ke tengah, untuk ikut berkuasa.
“Itu tafsir ekstremnya dari politik identitas,” ungkap Yanuar.
Baca juga: Pemilu 2024 Bawaslu Jabar Antisipasi Kecurangan Kampanye di Medsos, Bakal Kerjasama dengan FB dan IG
Dari bursa capres/cawapres Pilpres 2024 yang kini semakin berkembang, Yanuar memperkirakan akan ada tiga atau empat pasangan yang akan berttarung.
“Itu perkiraan dari dinamika politik yang berkembang saat ini. Bila PDIP tidak mengusung calon, akan ada tiga pasangan yang akan bertarung di Pilpres nanti. Yakni calon dari koalisi KIB, calon dari koalisi Gerindra dan PKB, serta calon dari koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat. Tapi kalau PDIP mengusung calonnya sendiri, berarti nanti akan ada empat pasangan calon,” katanya.
Sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung, pada Pilpres 2004 terdapat pasangan capres/cawapres terbanyak, yakni lima.
Ketentuan electoral threshold sangat penting dalam pemilihan presiden guna membatasi jumlah pasangan calon pada Pilpres.
“Bila tidak ada ketentuan electoral threshold, berarti semua partai bisa mendaftarkan calon presiden. Coba bayangkan kalau ada 25 partai berarti ada 25 pasangan capres/cawapres yang mendaftar. Di negara maju, sistem multipartai tapi sederhana. Tapi di Indonesia, sistem multipartai tapi rumit,” ungkap Yanuar. (*)