Sambil Nyuci Pakaian Dedi Mulyadi Berurai Air Mata Cerita Kisah Hidupnya, Kurang Tapi Bisa Berbagi

Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Kang Dedi Mulyadi menghabiskan akhir pekan dengan beres-beres rumahnya

Editor: Ichsan
dok.dedi mulyadi
Sambil Nyuci Pakaian, Dedi Mulyadi Berurai Air Mata Ceritakan Kisah Hidupnya, Meski Sulit Bisa Berbagi 

Kesederhanaan juga selalu diajarkan oleh kedua orang tua Kang Dedi. Salah satunya tidak mementingkan membeli baju lebaran dan lebih memilih memotong kambing atau domba hasil ternak untuk dibuat sayur untuk dibagikan ke tetangga.

“Jadi membagi daging untuk tetangga sudah dalam bentuk sayur itu jauh lebih utama dibanding baju anak-anak. Itulah pelajaran penting, mementingkan orang lain dibanding diri sendiri. Sikap sederhana itu terbawa dalam kehidupan saya,” ucap Kang Dedi.

Sejak SD hingga SMA, Kang Dedi terus hidup dalam kesederhanaan. Ia berusaha hidup mandiri mulai dari menjual kayu bakar, es, layangan hingga menjadi tukang ojek. Bahkan semenjak SMA ia sudah mulai terlatih untuk memperbanyak puasa.

“Saat SMA saya banyak tirakat, puasa senin kamis, puasa tujuh hari, puasa 40 hari, saya terus menjalani hidup dengan keprihatinan semua rangkaian itu saya jalani. Dan saya selalu berkeyakinan suatu saat apa yang saya lewati akan mencapai puncaknya. Inilah perjalanan hidup berat yang saya lewati,” ujarnya.

Lulus dari SMA, ia kemudian mencoba peruntungan untuk daftar Akabri namun tak lulus. Begitu juga saat mendaftar dari jalur Secaba yang juga tidak lulus. Rupanya Kang Dedi tidak lulus karena badannya terlalu kurus.

Ia pun akhirnya lolos seleksi kuliah di salah satu PTN di Bandung. Namun Kang Dedi tak mengambil kesempatan tersebut karena tak ingin membebani kedua orang tuanya untuk membiayai hidup di Bandung.

“Akhirnya saya ikut kakak tinggal di Purwakarta. Saya tinggal di rumah kontrakan yang mau roboh sehingga setiap malam debu jatuh dari langit-langit dan saya tidur di lantai tanpa alas apapun,” kata Dedi sambil terus terisak tangis.

Baca juga: Kunjungi Nimo Highland, Dedi Mulyadi Kritik Wisata di Pangalengan

Selama itu sang kakak hanya memiliki gaji Rp 10 ribu per bulan. Pernah suatu saat uang dibelikan nangka mentah dan dibuat gudeg untuk teman makan nasi selama dua minggu. Sebagai tambahan biasanya membuat gorengan atau membeli bumbu kupat tahu dari depan kontrakan.

Di tahun kedua Kang Dedi mulai berkuliah di STH Purwakarta. Setiap hari ia kuliah dengan jalan kaki karena tak memiliki ongkos. Setiap pulang ia selalu mencari akal agar ditraktir bakso oleh kenalannya yang bekerja di Pengadilan Agama.

Hingga suatu saat Kang Dedi diberikan sejumlah uang untuk modal berjualan di koperasi kampus. Di situ ia mulai berjualan segala macam termasuk gorengan. Dan mulai aktif di organisasi mahasiswa.

“Saya mulai aktif dan mendirikan HMI dan menjadi ketua cabang Purwakarta. Saya mulai mengenal banyak orang ikut pelatihan, bisa bikin surat, bisa bikin proposal, bisa antarkan sampai punya kegiatan,” katanya.

Berbeda dari yang lain, Kang Dedi menyelesaikan kuliah tanpa ikut wisuda. Namun di balik itu ia sudah mulai bekerja sambil kuliah di salah satu pabrik di Purwakarta.

Suatu saat ia kenal dengan seseorang yang disebutnya bernama (alm) Ibu Yaya. Dari situ ia diberi ruang untuk mengirim beras ke pabrik-pabrik saat situasi tengah krisis.

“Dia memberikan ruang bagi saya kirim beras ke koperasi, dari situ saya bisa beli motor, kontrak rumah, kemudian jadi anggota DPRD Purwakarta dan saya menjadi Wakil Bupati Purwakarta,” ujar Kang Dedi.

Semua rangkaian perjalanan hidup itu Kang Dedi tempuh dengan kerja keras dan kepedihan. Selama itu pula ia hidup sebagai orang biasa dalam kehidupan yang biasa. Baginya apa yang diraih saat ini adalah sesuatu yang luar biasa dari keluarga sederhana.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved