Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Mirip di Era Orde Baru? Ini Kilas Balik Zaman Soeharto

Di tengah masa pandemi Covid-19, kancah politik Indonesia menghangat akibat muncul wacana penundaan pemilu 2024.

Editor: Hermawan Aksan
istimewa
Presiden Soeharto 

Ketika menjabat, Presiden Soeharto menerapkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Dengan alasan demi pembangunan yang berkesinambungan, Golongan Karya, yang ketika masa Orde Baru menjadi partai politik utama pendukung pemerintah, dan fraksi ABRI di legislatif (saat itu masih menerapkan konsep dwifungsi militer) tetap mendukung kepemimpinan Soeharto.

Alasan mereka mempertahankan Soeharto ketika itu karena dinilai sudah melakukan pembangunan fisik serta sejumlah proyek strategis.

Karena itu, menurut kelompok pro-pemerintah, kepemimpinan Soeharto layak dilanjutkan sejak dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1968.

Aspirasi untuk membatasi masa jabatan presiden sudah muncul sejak akhir 1980-an.

Sebab, sebelum dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 setelah Reformasi 1998, seorang presiden bisa dipilih kembali oleh DPR tanpa ditentukan masa jabatannya.

Faktor lain yang membuat wacana pembatasan masa jabatan presiden muncul saat itu karena pelaksanaan pemilihan umum di masa Orde Baru dimanipulasi dengan berbagai cara supaya Soeharto tetap memimpin.

Caranya adalah mempertahankan kemenangan dan posisi Golkar sebagai mesin politiknya.

Selain itu, meski pembangunan fisik berjalan di masa kepemimpinan Soeharto, tetapi praktik korupsi di kalangan birokrat di era Orde Baru semakin meluas.

Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo sebagai tangan kanan Soeharto langsung menanggapi berbagai pendapat tentang pembatasan masa jabatan presiden.

Menurut dia, Presiden Soeharto tidak menginginkan menjabat sebagai presiden seumur hidup.

"Presiden tidak menghendaki jabatan seumur hidup."

"Jadi kalau memang dikehendaki berhenti, Pak Harto akan berhenti. Pak Harto kan orang yang paling menaati konstitusi," ujar Sudomo seperti dikutip dari Kompas edisi 27 Mei 1990.

Sudomo mengatakan, saat itu setiap warga negara yang dianggap memenuhi syarat diizinkan mencalonkan diri ataupun mengajukan calon presiden.

Menurut dia, masalah yang utama adalah apakah fraksi-fraksi di DPR mendukung pencalonan itu.

Sumber: Kompas
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved