Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Mirip di Era Orde Baru? Ini Kilas Balik Zaman Soeharto
Di tengah masa pandemi Covid-19, kancah politik Indonesia menghangat akibat muncul wacana penundaan pemilu 2024.
TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Di tengah masa pandemi Covid-19, kancah politik Indonesia menghangat akibat muncul wacana penundaan pemilu 2024.
Wacana penundaan pemilu 2024 pertama kali diutarakan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Muhaimin mengklaim saat ini rakyat Indonesia masih membutuhkan sosok Jokowi dan mengklaim mempunyai big data tentang dukungan masyarakat terkait hal itu.
Wacana itu pun didukung oleh dua ketua umum partai politik pendukung pemerintah, yaitu Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Keduanya beralasan penundaan pemilu patut dipertimbangkan demi momentum perbaikan perekonomian di masa pandemi Covid-19 dan hanya menyampaikan aspirasi dari kelompok pengusaha.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga mengklaim mempunyai big data yang memperlihatkan dukungan rakyat untuk penundaan pemilu.
Namun, baik Muhaimin maupun Luhut sampai saat ini tidak membuka big data yang mereka maksud terkait wacana itu.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai bagian dari koalisi pemerintah menyatakan mereka menolak wacana penundaan pemilu.
Namun, mereka mendukung usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dengan alasan klaim bahwa rakyat masih menghendaki Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin.
Selain itu, PSI menilai sampai saat ini belum ada sosok yang mampu menggantikan Jokowi.
Isu itu juga muncul tidak lama sebelum proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dimulai.
Berbagai alasan yang dikemukakan untuk meloloskan wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden mirip dengan yang terjadi di era Orde Baru.
Ketika Presiden Soeharto sudah menjabat hampir 30 tahun kelompok pro-pemerintah tetap mendukungnya melanjutkan kepemimpinan.
Akan tetapi, situasi di masa Orde Baru bertolak belakang dari masa kini.
Jika saat ini muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu, pada era Orde Baru kelompok masyarakat sipil justru berjuang untuk membatasi masa jabatan presiden karena pengalaman sejarah kepemimpinan yang buruk di masa itu.
