Menag Terbitkan Aturan Pengeras Suara Masjid, Sejumlah DKM Sudah Melakukan Sejak Zaman Soeharto
Ketua DKM Masjid Raya Jabar, Muchtar Gandaatmaja menyampaikan bahwa Masjid Raya Jabar telah melakukan aturan itu jauh sebelum Menteri Agama terbirkan
Penulis: Muhamad Nandri Prilatama | Editor: Darajat Arianto
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan tersebut tertuang dalam surat Edaran Menteri Agama nomor 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Ketua DKM Masjid Raya Jabar, Muchtar Gandaatmaja menyampaikan bahwa Masjid Raya Jabar yang berada di bawah naungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melakukan aturan tersebut jauh sebelum Menteri Agama mengeluarkan edaran aturan itu.
"Masalah pengeras suara sebenarnya bukan hanya saat ini tetapi dahulu sejak zaman presiden Soeharto telah ada lalu diperbaharui. Kami Insya Allah telah melakukannya karena Masjid Raya Jabar ini berada di bawah Pemprov Jabar seperti 10 masjid lainnya di Jabar, termasuk Pusdai, Masjid Raya Cirebon, dan At-Taawun Bogor," katanya saat dihubungi, Selasa (22/2/2022).
Dia juga berharap dengan adanya aturan ini masyarakat tidak terlalu bereaksi negatif. Pasalnya, aturan ini dinilai merupakan masukan-masukan yang diserap oleh Kementerian Agama dari kasus-kasus yang sering dijumpai.
"Kadang kan di kita itu terkait pengeras suara tak seragam, misal masjid satu sudah azan, lalu masjid yang lain baru azan. Jadi, tidak serentak. Kami (Masjid Raya Jabar) setuju saja karena berada di bawah naungan pemerintah, dan memang sejak dahulu kami hanya gunakan pengeras suara saat azan, iqomat, dan takmir," katanya.
Ketua Rais Syuriah PWNU Jabar, KH Abun Bunyamin pun menanggapi senada. Pada prinsipnya, tentang aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama terkait pengeras suara pihaknya menyambut baik dan mengapresiasinya.
"Insya Allah positif artinya penggunaan pengeras suara dapat dioptimalkan untuk digunakan di dalam masjid dan sekitarnya. Sedangkan untuk yang jangkauan luar jauh dibatasi seperti azan dan hal-hal tertentu yang dianggap urgen," ujarnya.
Adapun suara yang keluar dari pengeras suara, lanjutnya, harus menggambarkan suatu keindahan yang baik didengar dan dapat diresapi oleh masyarakat sekitar, seperti azan dan mengaji Alquran.
"Mudah-mudahan masyarakat bisa memahami tentang aturan baru ini. Memang tentu akan ada pro dan kontra. Tapi, buat kami (aturan) ini baik dan positif. Istilah dalam fiqh itu suara tak boleh mengganggu semisal bising bagi yang ibadah atau tidur, maka sangat perlu adanya pembatasan penggunaan pengeras suara yang jangkauannya jauh keluar. Dan aturan ini sebenarnya fleksibel dan situasional," katanya.
Sekretaris Muhammadiyah Kota Bandung, Zaenal Ihsan menyatakan bahwa aturan Menag terkait penggunaan pengeras suara untuk ceramah Jumatan, khutbah Idulfitri/Adha dengan hanya menggunakan pengeras suara dalam masjid saja, lebih baiknya diperbolehkan demi syiar.
"Nah kalau penggunaan untuk selain azan semisal selama Ramadan hanya gunakan pengeras suara dalam, seperti ceramah tarawih, tadarusan, dan lainnya itu untuk ghiroh dan edukasi Ramadan beserta segala amaliahnya. Hal lain, bisa saling menyesuaikan dan memantaskan tanpa ada pihak lain yang merasa terganggu," ujarnya seraya berharap dapat pararel antara aturan ketertiban kerukunan dan harmoni dengan ghiroh kesalehan dalam beragama.(*)