VONIS Unik Kasus Rudapaksa: Herry Wirawan yang Berbuat, Negara yang Harus Ganti Rugi, Ini Alasannya
Yang melakukan rudapaksa Herry Wirawan, namun ganti rugi untuk korban rudapaksa belasan santriwati dibebankan pada negara
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Mega Nugraha
TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG- Yang melakukan rudapaksa Herry Wirawan, namun ganti rugi untuk korban rudapaksa belasan santriwati dibebankan pada negara, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Itulah vonis unik yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Bandung di kasus Herry Wirawan. Pasalnya, ganti rugi untuk korban dibebankan pada negara.
Seperti diberitakan, Herry Wirawan divonis bersalah melakukan rudapaksa pada belasan santriwati hingga hamil. Dalam tuntutan jaksa, juga menuntut agar Herry Wirawan dijatuhi pidana tambahan berupa ganti rugi senilai Rp 331 juta.
Ketua Majelis Hakim yang menaganai perkara ini, Yohanes Purnomo Suryo, menyebut, biaya restitusi untuk para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
"Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya," ucap Yohanes Purnomo Suryo, Selasa (15/2/2022).
Majelis hakim berpendapat Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup.
Baca juga: Korban Rudapaksa Lebih Dari Satu, Herry Wirawan Sebenarnya Bisa Dijatuhi Hukuman Mati, Tapi. . .
Alasan negara harus membayar ganti rugi perbuatan Herry Wirawan, karena jakim mendasarkan itu pada Pasal 67 KUH Pidana yang berbunyi:
Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau penjara seumur hidup," katanya.
"Sehingga total keseluruhan restitusi 12 orang anak korban berjumlah Rp331.527.186," katanya.
Majelis hakim menyebut undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut.
Baca juga: TAMPANG Guru Ngaji yang Rudapaksa Santri di Sukabumi, Kepala Digundul, Dihukum Seperti Herry Wirawan
Sehingga hakim menyatakan restitusi sebesar Rp 331 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.
Sebelumnya JPU Kejati Jabar menuntut Herry Wirawan dihukum mati, serta sejumlah hukuman tambahan yakni pidana tambahan pengumuman identitas dan kebiri kimia, hukuman denda Rp 500 juta dan restitusi kepada korban Rp 331 juta, pembubaran yayasan pesantren termasuk Madani Boarding School dan penyitaan aset dan barang bukti untuk dilelang.
Herry dituntut hukuman itu sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 yentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Respon Pemerintah
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengatakan, pada prinsipnya ia menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan hakim tidak sama dengan tuntutan JPU.
"Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya bagi pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang," ujar Bintang Puspayoga.
Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan primer.
Selain itu, Majelis Hakim juga membebankan restitusi (ganti rugi) kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap anak dari 12 korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp331.527.186.
"Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang inkrah dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK," katanya.
Bintang Puspayoga menegaskan putusan hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum.
Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.
Merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Korban Minta Jaksa Banding
Korban rudapaksa Herry Wirawan meminta jaksa Kejati Jabar untuk banding atas vonis Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.
"Upaya banding adalah upaya hukum, mungkin ke depannya hasilnya seperti apa, yang jelas jaksa penuntut umum ada upaya dan komitmen," ujar Yudi Kurnia, kuasa hukum korban.
Dasar pengajuan banding, kata, Yudi Kurnia menyebut bahwa hakim Yohanes Purnomo Suryo menyenyampingkan syarat pelaku kejahatan terhadap anak bisa dipidana mati.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D, menimbulkan:
Korban lebih dari 1 (satu) orang, Mengakibatkan luka berat, Gangguan jiwa, Penyakit menular, Terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.
"Padahal unsur-unsur hukuman mati sudah sangat terpenuhi," kata Yudi Kurnia di Garut, Selasa (15/2/2022).
Putusan hukuman penjara seumur hidup menurutnya menyakiti perasaan keluarga korban yang sedari awal sudah mengharapkan hukuman mati bagi terdakwa.
"Si pelaku masih bisa bernapas walau pun di dalam penjara, sementara keluarga korban sesak menghadapi masa depan anak-anak, harapan anak sudah dibunuh, sementara si heri masih bisa bernapas," ungkapnya.
Yudi menjelaskan dari fakta persidangan terdakwa tidak membantah sedikit pun atas kesaksian para korban, unsur-unsur hukuman mati pun sudah terpenuhi.
Menurutnya kejadian tersebut merupakan kejadian yang luar biasa, diperparah dengan terdakwa yang seorang guru pengajar sekaligus guru pengasuh yang seharusnya melindungi muridnya.
Perbuatan terdakwa pun melakukan perbuatan bejat kepada 13 orang santriwati pun dilakukan secara berulang.
"Apakah ini bukan suatu kejadian luar biasa, kami mohon kepada jaksa penuntut umum untuk berani banding," kata dia.