Syarat Hukuman Mati untuk Herry Wirawan Sudah Terpenuhi, Mengapa Jadi Seumur Hidup? Ini Alasan Hakim

Putusan hukuman penjara seumur hidup menurutnya menyakiti perasaan keluarga korban yang sedari awal sudah mengharapkan hukuman mati bagi terdakwa.

Penulis: Sidqi Al Ghifari | Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman
Yudi Kurnia, kuasa hukum 11 korban Herry Wirawan saat memberikan keterangan kepada wartawan, Selasa (21/12/2021). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Herry Wirawan ustaz cabul yang merudapaksa santriwati hingga melahirkan 8 bayi lolos dari hukuman mati.

Herry Wirawan sang guru pesantren itu dihukum penjara seumur hidup atas perbuatan bejatnya tersebut, Selasa (15/2/2022).

Vonis hukuman penjara seumur hidup untuk Herry Wirawan pelaku rudapaksa santriwati  dinilai keliru.

Layar di luar ruang sidang putusan Herry Wirawan pelaku rudapaksa belasan santri di PN Bandung. Pengunjung menyaksikan sidang vonis di layar tersebut.
Layar di luar ruang sidang putusan Herry Wirawan pelaku rudapaksa belasan santri di PN Bandung. Pengunjung menyaksikan sidang vonis di layar tersebut. (Tribun Jabar/Muhammad Nandri Prilatama)

Pasalnya, syarat hukuman mati di undang-undang sudah terpenuhi.

Hakim Yohanes Purnomo Suryo di Pengadilan Negeri Bandung dinilai keliru dalam menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup untuk Herry Wirawan yang rudapaksa santriwati.

Dalam sidang putusan kasus rudapaksa 13 santriwati itu, Yohanes Purnomo Suryo membebaskan Herry Wirawan dari hukuman mati dan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.

Padahal, dalam sidang tuntutan, jaksa Kejati Jabar menuntut Herry Wirawan dengan tuntutan hukuman mati.

Kuasa hukum keluarga korban rudapaksa, Yudi Kurnia, mengatakan, kekeliruan itu didasarkan pada unsur atau syarat hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.

Yohannes Purnomo Suryo Adi (pn-bandung.go.id)
Yohannes Purnomo Suryo Adi (pn-bandung.go.id) ((pn-bandung.go.id))

"Padahal unsur-unsur hukuman mati sudah sangat terpenuhi," kata Yudi Kurnia di Garut, Selasa (15/2/2022).

Herry Wirawan dituntut berdasarkan Pasal 81 ayat 1 ayat (3) dan (5) jo Pasal 76 D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Uraiannya:

Pasal 81

Ayat 1
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta.

Baca juga: SOSOK Yohanes Purnomo Suryo Adi, Hakim yang Loloskan Herry Wirawan dari Hukuman Mati

Baca juga: Herry Wirawan Dipenjara Seumur Hidup, Dedi Mulyadi: Cermin Keadilan Meski Tak Sesuai Harapan

Ayat 2
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ayat 3
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76 D

Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Adapun tuntutan menjatuhkan hukuman mati didasarkan pada 81 ayat 5 Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 2016 jadi Undang-undang.

Pasal 81 ayat 5 Undang-undang Nomor 17 tahun 2016:

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D, menimbulkan:

1. Korban lebih dari 1 (satu) orang,
2. Mengakibatkan luka berat,
3. Gangguan jiwa,
4. Penyakit menular,
5. Terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
6. Dan/atau korban meninggal dunia,

Pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.

Melihat syarat hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual pada anak di Undang-undang Perlindungan Anak, maka, hakim harusnya menjatuhkan hukuman mati pada Herry Wirawan.

Yudi Kurnia, kuasa hukum 11 korban Herry Wirawan saat memberikan keterangan kepada wartawan, Selasa (21/12/2021).
Yudi Kurnia, kuasa hukum 11 korban Herry Wirawan saat memberikan keterangan kepada wartawan, Selasa (21/12/2021). (Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman)

"Hukuman mati itu salah satu unsurnya adalah korban lebih dari satu orang," ujar Yudi saat dihubungi Tribunjabar.id, Selasa (11/1/2022).

Berdasarkan pertimbangan yuridis itu, Yudi Kurnia meminta agar jaksa Kejati Jabar melakukan banding atas putusan tersebut.

"Apakah ini bukan suatu kejadian luar biasa, kami mohon kepada jaksa penuntut umum untuk berani banding. Upaya banding adalah upaya hukum, mungkin ke depannya hasilnya seperti apa, yang jelas jaksa penuntut umum ada upaya dan komitmen," ujarnya.

Alasan Hakim Tak Jatuhi Hukuman Mati Untuk Herry Wirawan

Herry Wirawan yang rudapaksa belasan santriwati bebas hukuman mati. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara seumur hidup

Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Jabar Jabar yang menuntut Herry dengan hukuman mati, kebiri kimia serta denda.

Vonis dibacakan majjelis Hakim yang dipimpin Yohanes Purnomo Suryo di Pengadilan Negeri Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung Selasa (15/2/2021).

Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), sesuai dengan pembelaan terdakwa melalui kuasa hukumnya. 

"Berdasarkan pembelaan terdakwa, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Dan pada pokoknya, terdakwa menyesal atas kesalahan," ujar Majelis Hakim. 

Dalam putusannya, Majelis Hakim juga menolak mengabulkan tuntutan kebiri kimia, denda Rp. 500 juta serta restitusi atau ganti rugi kepada korban Rp. 331 juta. 

"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," katanya. 

Menurut hakim, pasal yang dimaksud tersebut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penjatuhan tuntutan pidana dan penjatuhan pidana. 

"Maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana dan dirasa telah meresahkan masyarakat namun bukan berarti terhadap terdakwa dijatuhi tuntutan pidana maupun denda yang semena-mena," ucapnya. 

Sementara biaya restitusi untuk para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). 

Majelis hakim berpendapat Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup. 

Keluarga Korban Menangis

Keluarga santriwati yang jadi korban rudapaksa oleh Herry Wirawan marah dan menangis mendengar si guru bejat itu tidak dihukum mati.

Seperti diberitakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Herry Wirawan di sidang putusan pada Selasa (15/2/2022).

"Saya komunikasi dengan keluarga korban, mereka pada menangis kecewa berat dengan putusan ini," ujar Yudi Kurnia, kuasa hukum korban rudapaksa saat diwawancarai Tribunjabar, Selasa (15/2/2022).

Ia menyebut keluarga korban saat ini tengah tersesak karena hukuman terhadap pelaku tidak sebanding dengan penderitaan yang akan dialami korban seumur hidupnya.

Putusan hukuman penjara seumur hidup menurutnya menyakiti perasaan keluarga korban yang sedari awal sudah mengharapkan hukuman mati bagi terdakwa.

"Si pelaku masih bisa bernapas walau pun di dalam penjara, sementara keluarga korban sesak menghadapi masa depan anak-anak, harapan anak sudah dibunuh, sementara si heri masih bisa bernapas," ungkapnya.  

Yudi menjelaskan dari fakta persidangan terdakwa tidak membantah sedikit pun atas kesaksian para korban, unsur-unsur hukuman mati pun sudah terpenuhi.

Menurutnya kejadian tersebut merupakan kejadian yang luar biasa, diperparah dengan terdakwa yang seorang guru pengajar sekaligus guru pengasuh yang seharusnya melindungi muridnya.

Perbuatan terdakwa pun melakukan perbuatan bejat kepada 13 orang santriwati pun dilakukan secara berulang.

"Apakah ini bukan suatu kejadian luar biasa, kami mohon kepada jaksa penuntut umum untuk berani banding. Upaya banding adalah upaya hukum, mungkin ke depannya hasilnya seperti apa, yang jelas jaksa penuntut umum ada upaya dan komitmen," ujarnya.

Hukuman mati menurutnya sebagai pesan bahwa di negara Republik Indonesia ini tidak ada ruang untuk siapa pun yang melakukan kejahatan terhadap anak.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved