Kearifan Lokal Kasepuhan Ciptagelar
Cerita Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar Hadirkan Jaringan Internet dan Listrik di Tengah Tradisi
Meski pertahankan adat dan tradisi pertanian berusia 654 tahun, Kasepuhan Ciptagelar nyatanya bisa hidup beriringan dengan teknologi.
Penulis: M RIZAL JALALUDIN | Editor: Mega Nugraha
TRIBUNJABAR.ID,SUKABUMI - Meski pertahankan adat dan tradisi pertanian berusia 654 tahun, Kasepuhan Ciptagelar nyatanya bisa hidup beriringan dengan teknologi.
Salah satu buktinya, Kasepuhan Cipatgelar di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi itu sudah terakses jaringan internet.
Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi mengatakan, awal mula menciptakan jaringan internet itu dia turut merasakan sendiri betapa sulitnya berkomunikasi dengan warga yang ada di luar kasepuhan.
'Untuk jaringan internet sendiri karena zaman dulu Abah sekolah jauh dari kampung ini, pulang kampung merasakan sendiri komunikasi itu sangat penting untuk kita komunikasi dengan warga, entah itu kita dengan sesama, ternyata komunikasi di abah sulit pisan untuk diajukan ke berbagai macam selular," kata Abah Ugi saat berbincang dengan Tribun pada Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Pertanian dengan Membaca Langit Ala Warga Kasepuhan Ciptagelar, Teruji Tak Pernah Gagal Panen
Ia mengatakan, pada 2009 pernah mengajukan akses jaringan internet ke salah satu operator jaringan seluler untuk menyediakan jaringan internet di Kasepuhan Ciptagelar.
"Tahun 2009 kita mulai mengajukan karena ada faktor kebetulan, ada yang lewat main sepeda kebetulan dari salah satu operator yang di Indonesia, kita ngomong pak kalau bisa di kita pengen ada jaringan, dari situ dibangun ya sampai sekarang juga tetap masih berjalan," jelasnya.
Namun, hal itu tidak bisa maksimal karena tidak bisa dijangkau oleh banyak orang, terutama oleh warga yang berada di kampung-kampung pedalaman. Sampai akhirnya ia berinisiatif membuat jaringan sendiri.
"Di sisi lain karena operator yang besar-besar itu agak sulit menjangkau kampung-kampung yang kecil makanya ya abah bekerjasama dengan teman-teman gimana caranya kita membangun jaringan sendiri. Ternyata ada namanya ya ISP, Internet Service Provider yang bisa dikerjasamakan dengan masyarakat dan bisa dikelola langsung, makanya abah kembangkan," terangnya.
"Alhamdulillah saat ini ada di kita yang ada di 6 desa yang ada di seputaran abah itu dikelola oleh kita semua bekerjasama dengan teman-teman ISP-nya," jelasnya.
Baca juga: 654 Tahun Kasepuhan Ciptagelar Pertahankan Tradisi Larangan Jual Padi Untuk Ketahanan Pangan
Hadirkan Listrik Mikrohidro
Tak hanya jaringan internet, listrik di Kasepuhan Ciptagelar pun diciptakan sendiri. Abah Ugi mengatakan, pihaknya menciptakan listrik dari tenaga air karena wilayahnya yang sulit dijangkau PLN.
"Untuk listrik kita turun temurun sama juga ya waktu itu jauh juga dari PLN, kalau sekarang mungkin udah agak deket, kita untuk listrik sendiri menggunakan energi yang ada di alam, salah satunya energi turbin, itu mikrohidro, yang sekarang nyala ini semua listriknya dihasilkan oleh alam yang ada di abah," tuturnya.
"Itu pake turbin itu tenaga air menggerakan kincir, kincir menggerakan generator, generatornya menghasilkan listrik dan listriknya digunakan oleh abah sama warga abah, itu dari tahun 1989 kita mulai mengenal teknologi turbin dan sampai sekarang abah tetap lestarikan karena itu salah satu energi terbarukan yang ramah lingkungan, yang penting kita menjaga alamnya, air selain kita buat ke sawah ya kita ambil manfaatnya buat penerangan juga," kata Abah Ugi
Pertanian dengan Membaca Langit
Kasepuhan Ciptagelar menyandarkan kehidupan dan tradisi pada budaya pertanian. Saat panen tiba, larangan memperjual belikan padi berlaku. Tujuannya mengendalikan hawa nafsu atas uang.
"Setelah panen, hasilnya itu disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari, engga boleh dijualbelikan, jadi ya dari zaman dulu sampai sekarang tetap kebiasaan itu diregenerasikan dari turunan keturunan terus terusan," kata Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, saat berbincang dengan Tribun pada Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Ini Sosok Ditha Ana Talia asal Lebak Banten, Istri Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi
Sebagai masyarakat agraris yang pertahankan tradisi pertanian, mereka punya ilmu dan teknologi sendiri dalam menanam padi. Salah satunya untuk bibit.
Bibit padi baru bisa dipanen setelah ditanam selama 7 bulan. Padahal, padi pada umumnya sejak ditanam hingga panen memerlukan waktu 3-4 bulan. Abah Ugi mengatakan, hal itu menandakan bibitnya pun bisa bertahan lama.
"Terus lama bibit juga kalau di kota mungkin menanam padi itu 2 sampai 3 bulan udah bisa panen, kalau di Abah ditanam itu masih nunggu sampai 7 bulan baru bisa dipanen, dari lamanya bibit dia sampai berbuah sampai bisa dipanen juga mungkin menunjukan bibit ini lebih lama daripada yang umumnya mungkin," ucapnya
Proses penanamannya pun terbilang syarat dengan larangan. Abah Ugi menyebut, penanaman tidak dilakukan sembarangan. Dalam satu kali tanam padi selama satu tahun ini harus memperhatikan waktu yang tepat.
Menurutnya, ada dua tanda atau patok yang harus diperhatikan dalam proses menanam padi. Yakni dengan membaca langit, atau melihat rasi bintang.
Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, saat rasi bintang orion atau rasi bintang kidang tampak di langit malam.
"Penanamannya kita ada pola tersendiri itu diregenerasikan dari zaman dulu, untuk menanam padi itu gak sembarangan waktu, kita besok harus nanam, bisa nanam itu enggak, kita ada patokan ada rasi bintang. Ada dua rasi bintang ada kidang sama kerti. Rasi bintang kidang udah tepat di atas kepala kita, kalau lihat tengah malam itu lurus berarti disitu mulai bisa menanam padi," katanya.
Kemudian rasi bintang kerti atau rasi bintang The Pleiades, orang menyebutnya sebagai bintang Kartika.
"Kalau misalkan kerti, kidang udah gak kelihatan disitu biasanya hama mulai bermunculan, makanya sebelum kidang gak kelihatan harus udah bisa panen seharusnya. Itu dua rasi bintang yang menentukan untuk menanam padi, biasanya dimulai oleh abah dulu terus diikuti warga, kalau panen ya mana aja duluan, kalau menanam harus Abah dulu," kata Abah Ugi.
Dikutip dari ciptagelar.info, dua rasi bintang itu jadi patokan pertanian leluhur yang masih dijalani sebagai tradisi bertani kasepuhan hingga saat ini. Patokan bintang ini disebut dengan istilah Pranata Mangsa, yaitu pola bertani dengan berpatokan pada rasi bintang.
Dengan mengikuti pola bintang ini, mereka mengikuti pola dan siklus alam. Bintang jadi patokan hidup dan kehidupan antara manusia dengan kehidupan lainnya.
Ini bisa dimaknai sebagai mengikuti pola hidup yang diatur oleh alam. Dengan berpatokan pada bintang ini maka hidup tidak akan bertentangan dengan hukum alam dan kehidupan lain.
Dengan mengikuti pola ini, bertani padi tidak akan gagal panen karena cuaca ataupun gagal karena serangan hama. Alasannya, karena bintang memberikan tanda, sebagai batasan waktu yang menjadi ‘hak waktu’ untuk kehidupan manusia dan ‘hak waktu’ bagi keidupan selain manusia yaitu para binatang sekeliling kita.