Guru Rudapaksa Santri
Atalia Sebut Korban Rudapaksa Guru Bejat Herry Wiriawan 13 Orang, Sisanya Bukan Korban tapi . . .
Atalia Praratya Kamil menyebut total korban rudapaksa yang dilakukan Herry Wirawan mencapai 13 orang.
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nazmi Abdurahman
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bunda Forum Anak Daerah Jawa Barat, Atalia Praratya Kamil, menyebut total korban rudapaksa yang dilakukan Herry Wirawan mencapai 13 orang.
"Jumlah korban ini memang agak simpang siur, tapi kalau dari kami jumlahnya 20 orang. Ada satu yang usianya 10 tahun, tapi yang usia 10 itu setelah dicek, ternyata bukan korban," ujar Atalia saat jumpa pers di Kantor Kejati Jabar, Jalan Naripan, Kota Bandung, Selasa (14/12/2021).
Dari 20 itu, kata dia, korban yang mendapat rudapaksa jumlahnya 13 orang.
"Tujuh sisanya adalah saksi," katanya.
Baca juga: Mensos Tri Rismaharini Geram, Herry Wirawan si Pelaku Rudapaksa Rampas Masa Depan Anak
Pihaknya pun memastikan bakal turut mengawal kasus ini agar Herry mendapat hukuman seadil-adilnya.
"Kita juga memastikan para korban mendapatkan pendampingan agar mereka bisa kembali sekolah dan bayi yang dilahirkan oleh korban mendapat pengakuan dari sisi hukum, hak untuk mendapatkan akta," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, mengatakan, belasan santriwati yang menjadi korban rudapaksa oleh Herry Wirawan bakal mendapat perlindungan dari pemerintah.
Tak hanya itu, anak yang dilahirkan dari para korban pun bakal turut diberi perhatian berupa perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya.
"Kami menyampaikan dari Kementerian PPPA akan selalu dan hadir dalam mendampingi korban. Bukan saat ketika kasus itu viral, tapi juga saat ada kasus yang tidak menjadi perhatian publik," ujar I Gusti Ayu.
Baca juga: Presiden Jokowi Beri Instruksi Soal Kasus Herry Wirawan, Ini Katanya, Sebut Kejahatan Luar Biasa
"Korban ini kebanyakan masih anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita bersama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasarnya," katanya.
Kasus rudapaksa yang dilakukan Herry Wiriawan ini menjadi perhatian publik lantaran terdapat belasan santriwati yang menjadi korban rudapaksa hingga ada yang hamil dan melahirkan.
Presiden Joko Widodo pun mengintruksikan agar dilakukan koordinasi lintas sektoral untuk mengawal kasus ini.
"Dalam kasus ini, Bapak Presiden mengintruksikan agar negara hadir dan memberikan tindakan tegas, salah satunya dengan mengawal kasus ini," ucapnya.
"Saya minta agar dihukum seberat-beratnya akibat ulah oknum guru pesantren, supaya ini menjadi contoh."
"Saya dengar di Tasikmalaya juga ada, terus dengar ada lagi di mana itu," ujar Dede ketika diwawancara Tribunjabar.id seusai kunjungan spesifik di kantor Pemkab Purwakarta, Selasa (14/12/2021).
Baca juga: Kasus Asusila dan Rudapaksa pada Anak Banyak Terjadi di Sumedang, Korban Enggan Lapor Karena Aib
Ia mengatakan, hal itu tidak seharusnya terjadi di lembaga pendidikan.
Oleh karenanya, hukuman berat bagi pelaku sangat layak untuk diterapkan, sebab para santriwati dalam kondisi tidak berdaya.
"Intinya, saya mengutuk keras perilaku bejat yang memanfaatkan siswi atau santriwati yang tidak berdaya itu."
"Seorang pemilik sekolah atau oknum guru pesantren itu sudah harus dihukum berat supaya hal serupa tidak terulang," ucapnya.
"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban jawaban sosial, karena korbannya juga menanggung dampak jangka panjang," ujar M Farhan saat dihubungi pada Senin (13/12/2021).
Warga berharap agar Herry Wirawan dijatuhi hukuman mati oleh hakim.
Namun, ancaman hukuman di pasal yang didakwakan jaksa tidak ada hukuman mati, melainkan penjara maksimal 15 tahun plus 1/3.
"Memang sangat memprihatinkan."
Baca juga: Foto Herry Wirawan Guru Rudapaksa Santriwati Bonyok Beredar Luas, Kepala Rutan Bilang Begini
"Tetapi sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga," ujarnya.
Dengan kejadian tersebut, Farhan menilai, jadi momentum untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional."
"Pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya."
"Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut?"
"Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," katanya.
Dia menekankan peran pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan pada korban dengan intensif.
"Perlu kita apresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar dan Ibu Atalia Kamil yang gerak cepat memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial," kata dia.
Kemudian, lanjut Farhan, pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir.
"Saya mengajak semua pihak, jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar," ujar dia.
Farhan menilai, dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai kebiri kimia, ada satu hal yang belum diberlakukan yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.
"Rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku akan memberikan ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku."
"Tujuannya untuk memberikan efek jera, bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut," kata dia. (*)