Hari Ini Dijadwalkan Dieksekusi, Terpidana Kasus Narkoba Tak Jadi Dihukum Mati Karena IQ-nya Jongkok
Nagaenthran K. Dharmalingam, nama terpidana mati kasus narkoba di Singapura itu sudah divonis mati tahun 2010 silam setelah tertangkap.
Namun Pengadilan Singapura sebelumnya telah memutuskan bahwa Nagaenthran tahu betul apa yang dia lakukan.
Keputusan pemerintah Singapura untuk mengeksekusi Nagaenthran menimbulkan kecaman oleh organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
Mereka berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional dalam kasus Nagaenthran, mengingat ia memiliki fungsi intelektual dan defisit kognitif yang terbatas.
Kecacatan ini dianggap akan mempersulit Nagaenthran untuk menilai risiko dan juga akan menyulitkannya untuk secara akurat menjelaskan keadaannya.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob baru-baru ini menulis surat kepada rekannya di Singapura, Lee Hsien Loong menuntut keringanan hukuman dalam kasus Dharmalingam.
Bagaimana kasus Nagaenthran K. Dharmalingam?
Mengutip Indian Express, pada 22 November 2010, Dharmalingam dijatuhi hukuman mati karena mencoba menyelundupkan 42,72 gram heroin ke Singapura.
Dia ditangkap pada April 2009 ketika mencoba menyelundupkan heroin di Woodlands Checkpoint saat memasuki Singapura dari Malaysia.
Heroin itu diikatkan ke pahanya saat itu.
Dharmalingam mengajukan banding di pengadilan banding Singapura pada Juli 2011, namun ditolak.
Pada Februari 2015, Dharmalingam mengajukan permohonan untuk diberikan hukuman penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.
Pada titik ini, salah satu masalah yang dipertimbangkan selama hukuman ulangnya adalah bahwa tanggung jawab mental terdakwa atas tindakannya "dirusak secara substansial" pada saat ia melakukan pelanggaran.
Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa tahu apa yang dia lakukan.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan pada saat itu seorang psikiater yang dipanggil atas namanya setuju Nagaenthran tidak cacat intelektual.
Pernyataan tersebut mencatat bahwa pada 2015, pengadilan menemukan terdakwa "mampu merencanakan dan mengatur dengan cara yang lebih sederhana" dan "relatif mahir hidup mandiri".