Kata Ekonom Soal COD Fiktif, Karena Ada Kelemahan Sistem, yang Harus Tanggung Jawab Aplikator

Ini kata ekonom mengenai order fiktif atay COD fiktif yang terjadi di Bandung.

Editor: taufik ismail
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Pengemudi ojek online mengantar pesanan melintas di Jalan Cibaduyut Raya, Kabupaten Bandung, Rabu (10/6/2020). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat Kebijakan Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, berharap kasus order fiktif yang belakangan kembali terjadi di Kota Bandung menjadi perhatian semua pihak.

Jumat, 17 September lalu, puluhan pengemudi ojek online (ojol) menjadi korban.

Mereka datang silih berganti mengantar berbagai pesanan ke kediaman Yanyan Kurnia (26) di Jalan Cikaso, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cibeunying Kidul.

Padahal, Yanyan dan keluarganya tak pernah memesan semua yang diantar para pengemudi ojol tersebut.

"Adanya orderan fiktif itu, selain disebabkan oleh kesalahan dari pemesan, juga karena adanya kelemahan sistem dari pihak aplikator. Seharusnya pihak aplikator melakukan kroscek atau konfirmasi secara bertahap, guna memastikan bahwa lokasi pemesan dan tujuan pengantaran pesanan itu sesuai atau tidak," ujar Acuviarta saat dihubungi melalui telepon, Selasa (21/9/2021).

Keberadaan orang yang melakukan pesanan melalui handphone dan berbasis akun, kata Acuviarta, seharusnya bisa dilacak sekalipun pemesan enggan menjawab panggilan yang dilakukan driver ojol selaku petugas pengantar pesanan.

"Maka, saya kira karena adanya kelemahan sistem ini, kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak aplikator, dan tidak dibebankan kepada driver selaku petugas pengantar pesanan," ujarnya.

Agar peristiwa seperti itu tak lagi terulang, kata Acuviarta, pemerintah harus membuat sebuah regulasi tegas, melalui adanya klausul perjanjian berlandaskan hukum, untuk memastikan bahwa antara identitas akun dan pemilik akun adalah benar pihak atau orang yang sesuai.

Regulasi juga harus dibuat terkait ambang batas dari potensi terjadinya fraud atau penipuan, serta sanksi yang akan diberikan bagi pelaku proud tersebut, dengan ancaman jerat hukum pidana.

"Maka yang perlu ditekankan adalah, pihak regulator harus melakukan audit sistem dari proses layanan jasa pesan antar tersebut. Harus sda perbaikan dari metode transaksi digital yang dilakukan oleh pihak aplikator. Bila dua hal ini dilakukan, dengan adanya regulasi dan pengawasan yang ketat, peristiwa orderan fiktif ini harusnya tidak kembali terjadi," katanya.

Kejahatan dengan modus orderan fiktif, bukan kali pertama terjadi.

Tahun lalu, modus serupa juga sempat marak, bukan hanya di kota-kota di Jawa Barat, tapi di kota lainnya, termasuk Jakarta dan Yogyakarta.

Polanya sama, paket dikirim dengan sistem cash on delivery (COD), di mana penerima diharuskan membayar barang dan ongkos kirim kepada kurir ekpedisi tepat setelah menerima paket.

Umumnya, sekalipun merasa tak pernah melakukan pemesanan, pemilik alamat tujuan akhirnya melakukan pembayaran karena kasihan pada para pengemudi ojek online, yang juga menjadi korban lantaran kebagian "tugas" mengantar barang dari orderan fiktif yang tidak mereka ketahui itu ke alamat tujuan. (cipta permana)

Baca juga: Jangan Bebankan ke Driver Ojol, Marak Orderan Fiktif karena Perusahaan Aplikasi Lalai

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved