Cyber Dating Abuse Timbulkan Rasa Kontrol, Berkuasa, dan Perilaku Over, Imbas Perkembangan Teknologi
Kekerasan dalam hubungan sudah menjadi isu yang memprihatinkan sejak lama.
Penulis: Shania Septiana | Editor: Giri
Dari adanya agresi itu, timbullah sebuah aksi berupa cyber dating abuse.
"Cyber dating juga punya tahapan yang buruk yang bisa memengaruhi ketidakstabilan hubungan. Awalnya cyber control berupa sikap posesif, verbal aggression, suatu kegiatan untuk membuat orang lain malu contohnya sebar aib di Twitter," ujarnya.
"Cyber harassment, sering ditelepon, sering di-chat. Perilaku ini bukan lagi bentuk sayang, melainkan bentuk gangguan. Yang paling parah ada sexual abuse dengan memaksa kirim foto atau video genital dan kalau itu dipaksa dan tidak ada consent (persetujuan), itu termasuk sexual abuse," ucapnya.
Tidak adanya persetujuan dari kedua pihak pasangan menimbulkan banyak faktor yang merugikan di antara, adanya manipulasi pasangan, adanya kekerasan secara online yang berlangsung secara offline.
Penurunan kualitas hubungan, aksesibilitas teknolog, pengalaman pelecehan, trauma dan trust issue.
"Siapa yang cenderung rentan menjadi korban? Satu, remaja, karena remaja kita masih eksplorasi banyak hal, mana yang benar sayang dan mana kalau itu kekerasan. Dua, bukan hanya masalah usia, tapi kurangnya pemahaman tentang personal boundaries dan consent. Tiga, konsensual freely given tergantung kepada ketersediaan diri dan tidak adanya bentuk penolakan," ujarnya.
Satu di antara cara menghindari agresi dan cyber dating abuse adalah dengan membuat boundaries, berupa digital boundaries bersama pasangan.
"Berupa batasan agar kita aman consent satu sama lain, jangan egois. Hargai dan buat privasi," katanya. (*)