Cyber Dating Abuse Timbulkan Rasa Kontrol, Berkuasa, dan Perilaku Over, Imbas Perkembangan Teknologi
Kekerasan dalam hubungan sudah menjadi isu yang memprihatinkan sejak lama.
Penulis: Shania Septiana | Editor: Giri
Laporan wartawan Tribun Jabar, Shania Septiana
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kekerasan dalam hubungan sudah menjadi isu yang memprihatinkan sejak lama.
Berdasarkan penelitian Leen tahun 2013, sebanyak 44 persen kekerasan dalam hubungan romantis dapat terjadi berupa kekerasan fisik, dan terdapat 77 persen kekerasan psikis.
Perkembangan teknologi pun turut berkontribusi dalam meningkatkan perilaku kekerasan tersebut.
Kemajuan teknologi bisa menjadi masalah baru, satu di antaranya cyber dating abuse.
"Yang perlu digarisbawahi dari cyber dating ini berupa perilaku controlling, yang niatnya mengungkapkan rasa sayang padahal itu bisa jadi cyber dating. Niat atau agresi ini segala perilaku dan sikap yang intensinya berdasarkan unsur kesengajaan untuk menyakiti orang lain," ucap Graciella Felicia, Sex Education Sisilism dalam webinar weekly Sisilism belum lama ini.
Agresi memiliki definisi yang berbeda, baik secara verbal maupun non-verbal.
Ada berupa intonasi suaranya atau tatapan sinis.
"Agresi dibagi menjadikan empat tahap, di antaranya emosional, cognitive, physical, non-physical, dan cyber dating abuse termasuk kedalam agresi non-physical," ucap Grac.
Emosional didasari oleh respons atau reaksi emosi, biasanya emosi yang negatif.
Emosional ini muncul karena niat yang tidak besar, contohnya membentak seseorang ketika sudah sangat kesal tak terbendung.
Cognitive, yaitu agresi yang direncanakan dengan matang, dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu.
Bisa jabatan, uang, perhatian atau politic exposure.
Physical, perilaku agresi yang menyakiti secara fisik bisa ditengang, dipukul, ditusuk, dan lainnya.
Non-physical, tanpa adanya sentuhan fisik (verbal) bisa berupa ejekan, olokan, sindiran.
Dari adanya agresi itu, timbullah sebuah aksi berupa cyber dating abuse.
"Cyber dating juga punya tahapan yang buruk yang bisa memengaruhi ketidakstabilan hubungan. Awalnya cyber control berupa sikap posesif, verbal aggression, suatu kegiatan untuk membuat orang lain malu contohnya sebar aib di Twitter," ujarnya.
"Cyber harassment, sering ditelepon, sering di-chat. Perilaku ini bukan lagi bentuk sayang, melainkan bentuk gangguan. Yang paling parah ada sexual abuse dengan memaksa kirim foto atau video genital dan kalau itu dipaksa dan tidak ada consent (persetujuan), itu termasuk sexual abuse," ucapnya.
Tidak adanya persetujuan dari kedua pihak pasangan menimbulkan banyak faktor yang merugikan di antara, adanya manipulasi pasangan, adanya kekerasan secara online yang berlangsung secara offline.
Penurunan kualitas hubungan, aksesibilitas teknolog, pengalaman pelecehan, trauma dan trust issue.
"Siapa yang cenderung rentan menjadi korban? Satu, remaja, karena remaja kita masih eksplorasi banyak hal, mana yang benar sayang dan mana kalau itu kekerasan. Dua, bukan hanya masalah usia, tapi kurangnya pemahaman tentang personal boundaries dan consent. Tiga, konsensual freely given tergantung kepada ketersediaan diri dan tidak adanya bentuk penolakan," ujarnya.
Satu di antara cara menghindari agresi dan cyber dating abuse adalah dengan membuat boundaries, berupa digital boundaries bersama pasangan.
"Berupa batasan agar kita aman consent satu sama lain, jangan egois. Hargai dan buat privasi," katanya. (*)