VIDEO Kisah Sunarih, di Usia Senja Setia Menenun Kain Gedogan, Tak Mau Kain Khas Indramayu Ini Punah

Usianya 62 tahun. Tangan Sunarih tetap bekerja menghasilkan kain tenun gedogan.

Penulis: Handhika Rahman | Editor: yudix

INDRAMAYU mempunyai kain tenun khas. Namanya kain tenun gedogan. Di usia senjanya, Sunarih tetap setia melestarikan hasil budaya yang nyaris punah ini.

TRIBUNJABAR.ID, INDRAMAYU - Nama gedogan sendiri diambil dari cara pembuatan kain yakni di-gedog dengan alat yang terbuat dari kayu.

Namun, kain yang satu ini sekarang hampir punah karena tidak ada generasi penerus yang menggeluti kerajinan tersebut.

Baca juga: Tak Ada Lagi Mantan Pemain Persib Bandung, Persita Bawa 30 Pemain untuk Jalani Piala Menpora

Baca juga: Peringatan 1.409 Tahun Kerajaan Galuh Digelar di Situs Karangkamulyan, Berlangsung Sederhana

Sunarih (62), merupakan satu dari dua perajin kain gedogan yang hingga saat ini masih tersisa. Ia ingin, suatu saat nanti ada generasi muda yang menjadi penerusnya melestarikan kain tenun gedogan agar tidak punah.

"Barangkali nanti ada yang minat, inginnya, sih, anak muda juga ikut belajar. Minimalnya berkunjung ke sini, kalau banyak yang kunjungan siapa tahu kepikiran mau belajar," ujar Sunarih kepada Tribuncirebon.com di kediamannya di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Minggu (21/3/2021).

Suranih mengatakan akan dengan senang hati mengajari siapa pun yang ingin mencoba menenun kain gedogan. Ada kepuasan tersendiri saat mengajari generasi muda bagaimana caranya menenun.

"Kalau bisa bagaimana pun kain gedogan ini jangan sampai punah," ujar dia.

Menurutnya, penenun kain gedogan di daerahnya tersisa dua orang.

"Sekarang tinggal dua, saya dengan ibu Sartiwen, dia juga sudah sepuh," ujarnya.

Sunarih mengatakan, satu per satu penenun kain gedogan meninggal dunia. Penenun terakhir yang meninggal dunia adalah Salimah (80). Ia meninggal sekitar satu tahun lalu.

Tidak adanya generasi penerus yang menggeluti kerajinan ini membuat Sunarih bersedih. Ia ingin kerajinan yang menjadi khas dari daerah kelahirannya itu tidak sampai punah.

Hal tersebutlah yang membuatnya sampai saat ini terus menenun walau dengan kondisi tubuh sudah tidak sekuat dahulu.

"Saya anak punya dua, tapi sudah bekerja semua tidak ada yang nerusin nenun," ujar dia.

Sunarih menceritakan, padahal dahulu di kampungnya setiap rumah pasti memiliki peralatan menenun.

Sewaktu kecil, Sunarih mengaku sering menenun kain gedogan bersama para tetangganya.

"Saya nenun dari kecil, usia 10 tahunan, dulu mah banyak, setiap rumah nenun semua, sekarang tinggal dua orang lagi," ujar dia.

Untuk membuat secarik kain tenun gedogan dibutuhkan waktu empat sampai lima hari.

Sunarih mengatakan, pesanan kain tenun gedogan buatannya selalu ada saja walau tidak sebanyak dahulu.

Untuk satu helai kain buatannya, kain tenun gedogan ini ia hargai Rp 250 ribu.

"Kemarin ada pesanan dari Indramayu, Jakarta, terus dari Bandung, alhamdulillah," ujar dia.

Namun, ucap Sunarih, tidak jarang pula dalam beberapa bulan sama sekali tidak ada pesanan.

Paling lama, ia pernah mengalami tidak ada pesanan selama tiga bulan lamanya.(handhika rahman)

Mengapa meski sepi pesanan Sunarih tetap menenun kain gedogan?

Anda bisa membacanya di Harian Umum Tribun Jabar edisi Senin 22 Maret 2021.

Baca juga: Ikatan Cinta, Mama Rosa Sangat Terpukul karena Tahu Andin Ternyata Mantan Napi Kasus Pembunuhan

Baca juga: Pengumuman SNMPTN 2021 Hari Senin Pukul 15.00 WIB, Sejumlah Kampus Belum Dapat Mirror Link

Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Kisah Sunarih, di Usia Senja Masih Setia Menenun Kain Gedogan, Tak Mau Kain Khas Indramayu Ini Punah, https://jabar.tribunnews.com/2021/03/21/kisah-sunarih-di-usia-senja-masih-setia-menenun-kain-gedogan-tak-mau-kain-khas-indramayu-ini-punah.
Penulis: Handika Rahman
Editor: taufik ismail
Video Editor: Wahyudi Utomo

Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved