Seokarno Ditodong Pistol Saat Setujui Supersemar? Awal Orde Baru, Kekuasaan Beralih pada Soeharto
Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar menjadi awal lahirnya Orde Baru yang kekuasaannya dipimpin oleh Soeharto.
Penulis: Fidya Alifa Puspafirdausi | Editor: Ravianto
TRIBUNJABAR.ID - Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar menjadi awal lahirnya Orde Baru yang kekuasaannya dipimpin oleh Soeharto.
Keberadaan Supersemar masih menjadi misteri.
Tidak ada yang tahu pasti di mana surat yang ditandatangani Soekarno itu.
Supersemar diartikan penyerahan mandat kekuasaandari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto pada 11 Maret 1966.
Situasi atau proses Soekarno menyetujui surat tersebut masih menjadi tanda tanya.
Baca juga: Supersemar, Awal Jatuhnya Soekarno dan Soeharto Berkuasa Hingga 30 Tahun, Surat Asli Masih Misteri
Baca juga: Ibu Diteror dan Dilaporkan Anak karena Warisan, Kaca Disebar di Kamarnya, padahal Dulu Manjakan Anak
Dikutip dari buku Mereka Menodong Soekarno yang ditayangkan Kompas.com dan dikutip TribunJabar.id, Soekardjo Wilardjito mengungkap bahwa Presiden Pertama Indonesia itu meneken Supersemar dalam keadaan tertekan.
Soekardjo Wilardjito adalah ajudan Soekarno yang ada dalam ruangan saat Soekarno menandatangani surat tersebut.
Bahkan, dia menyebut Soekarno ditodong pistol FN 46 oleh jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean.
Pengakuan itu disampaikan Soekardjo dalam buku setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.
Menurut Soekardjo saat itu ada empat jenderal yang mengantar Supersemar ke hadapan Presiden Soekarno.
Mereka disebut sebagai anak buah yang diutus Soeharto.

Keempat jenderal yang dimaksud ajudan Soekarno adalah Mayjen Basuki Rahmat, M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Pengakuan Soekardjo itu berbeda. Sebab, selama ini diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno.
Soekarno sempat protes setelah disodorkan Supersemar.
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Soekardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno.