Sidang Kasus Suap Sekdis DPKPP Bogor Pemberi Suapnya Tidak Ada, Ahli Pidana: Tidak Logis dan Yuridis

Chairul Huda menyebut, dalam tindak pidana suap, mengharuskan ada dua pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban pidana.

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/ Mega Nugraha
Persidangan sebanyak 26 kali sejak 27 Juli 2020 dengan menghadirkan puluhan saksi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, belum membuktikan siapa yang dinyatakan bersalah dalam dugaan tindak pidana korupsi jenis suap yang menjerat Iryanto. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Persidangan sebanyak 26 kali sejak 27 Juli 2020 dengan menghadirkan puluhan saksi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, belum membuktikan siapa yang dinyatakan bersalah dalam dugaan tindak pidana korupsi jenis suap yang menjerat Iryanto.

Iryanto merupakan Sekretaris Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) non aktif yang didakwa pasal suap dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Iryanto diduga menerima suap terkait perizinan sebesar Rp 120 juta.

Jaksa mendakwanya dengan Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf e dan Pasal 12 huruf B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa juga menyertakan pasal penyertaan dan perbuatan berlanjut yakni Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan Pasal 64 KUH Pidana.

Pada persidangan Jumat (26/2/2021), menghadirkan saksi ahli pidana, Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah.

Dia juga pernah jadi saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang pra peradilan Kepala BIN Budi Gunawan pada 2015. Saat itu, Budi yang mengajukan praperadilan karena ditetapkan tersangka oleh KPK, menang.

Di persidangan Iryanto, Chairul Huda memberikan keterangan yang menyudutkan jaksa penuntut umum. Dia menyebut, dalam tindak pidana suap, mengharuskan ada dua pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban pidana.

Namun, dalam kasus ini, ia mengaku heran karena hanya ada penerima saja.

"Soal tindak pidana suap dalam hukum pidana, ada yang disebut penyertaan mutlak. Delik ini hanya bisa diterapkan jika berpasangan aktif, artinya (penerima suap) tindak pidana ini hanya bisa diterapkan dengan dan pemberi," ujar Chairul Huda di hadapan majelis hakim.

Baca juga: SEBENTAR LAGI Sinetron Ikatan Cinta. Nih, Sinopsis Episode Malam Ini 26 Februari, Makin Seru

Dia menganalogikan tindak pidana suap dengan perzinahan. Dalam perzinahan, ada sepasang lelaki dan perempuan.

"Delik suap tidak mungkin dipertanggung jawabkan hanya untuk penerima saja, tidak logis dan tidak yuridis karena (pasal yang didakwakan) ini delik berpasangan. Hanya bisa diterapkan berpasangan. Jika ditanya apakah tindak pidana suap hanya bisa dikenakan pada penerima saja, enggak mungkin," ucap Chairul Huda.

Bisa saja penerima suap saja yang dikenai pidana. Namun, itu jika situasi pemberi suapnya meninggal dunia. Selain itu, alasan pemberi suap tidak dijerat karena berstatus justice Collaborator (JC) juga tidak bisa.

"Tidak bisa. Setahu saya JC itu bukan untuk pelaku utama, pemberi suap itu pelaku utama. Kemudian, antara pemberi dan penerima suap harus ada deal (janji) dulu," katanya.

Iryanto juga menanyakan soal kemungkinan pemberian suapnya hanya rekayasa alias dijebak.

"Tindakan penjebakan tidak boleh, tidak diatur di sistem hukum kita. Watak penegak hukum harus dijauhkan dari upaya-upaya penjebakan," ucap dia.

Baca juga: Banjir Kembali Terjang Pemukiman di Indramayu, Warga Trauma sampai Tak Enak Tidur, Taruh Harapan

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved