PPKM Mikro
Gubernur: Jabar Tak Akan Pakai Data Covid Pusat, Desa Zona Merah Dapat Bantuan Sembako
"Diumumkan mana desa zona merah, mana yang zona hijau. Namun kita tidak akan menggunakan data pusat karena masih bercampur dengan kasus lama."
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pola karantina wilayah dalam skala mikro seperti yang sempat dilakukan di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, saat klaster Secapa terjadi, akan diadaptasi dalam pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro.
PPKM mikro akan dimulai hari ini hingga 22 Februari mendatang.
Pola karantina wilayah diberlakukan untuk desa atau kelurahan yang masuk dalam zona merah Covid-19.
• Puluhan Napi Sukamiskin Terpapar Covid-19, Setya Novanto Selamat, Dada Rosada Positif
• Banjir di Majalengka, 4.000 Warga Mengungsi, Para Pengungsi Mulai Sakit, Belum Ada Tim Medis
Namun, agar pelaksanaannya efektif, Jabar tak lagi mempergunakan data kasus Covid-19 yang dirilis oleh pemerintah pusat.
Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, mengatakan, desa dan kelurahan mana saja yang harus melakukan karantina wilayah akan diumumkan hari ini, bersamaan dengan keluarnya surat keputusan bupati atau wali kota.
"Diumumkan mana desa zona merah, mana yang zona hijau. Namun kita tidak akan menggunakan data pusat karena masih bercampur dengan kasus lama," kata Emil setelah menggelar rapat Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat di Markas Kodam III Siliwangi, Senin (8/2).
"Kita akan gunakan data lokal sehingga petanya baru, bisa hadir besok mana desa-desa yang merah, oranye, kuning, atau hijau."
Desa-desa dan kelurahan yang masuk zona merah dan harus melakukan penutupan di wilayah, kata Emil, akan mendapat bantuan sembako dari pemerintah.
Prosedurnya, kata Emil, sama seperti yang sempat mereka berlakukan dalam pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) saat ada klaster di Secapa AD, tempo hari.
"Itu satu kelurahan kita karantina dan prosedurnya akan kita copy paste ke seluruh wilayah yang berzona merah saat PPKM mikro," kata Emil.
Emil mengatakan, 80 persen desa dan kelurahan di Jabar sudah memiliki posko Covid-19.
Artinya, kata Emil, dari sisi kesiapan posko Covid-19 seperti yang diwajibkan dalam PPKM mikro, Jabar sudah siap.
Sebab, salah satu inti dari PPKM mikro ini adalah pembentukan Posko Penanganan Covid-19 yang berisi petugas yang bertugas menguatkan tracing dan testing, atau pelacakan dan pengetesan, serta peningkatan protokol kesehatan, sampai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
"Dalam dua minggu ini semua desa dan kelurahan harus sudah punya Posko Covid-19. Alhamdulillah Jawa Barat selama 2020 sudah bangun posko di 3.800-an desa dan kelurahan sehingga butuh hanya sekitar 1.500-an desa yang belum."
"Nah, itu akan dilakukan dalam dua sampai tiga hari ini, menggunakan dana desa," ujarnya.
Berdasarkan arahan Presiden RI, kata Emil, tim tracing atau pelacakan kontak di tiap desa atau kelurahan harus melibatkan TNI dan Polri.
Hal ini sedang dirumuskan supaya ada satu tim khusus dari TNI dan Polri yang kerjanya adalah melacak kontak erat pasien positif Covid-19.
Di Kota Bandung
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung, Ema Sumarna, mengatakan kebijakan PPKM mikro di Kota Bandung akan disesuaikan dengan kondisi di wilayah masing-masing.
"Ini yang sedang dipetakan oleh Dinas Kesehatan, jadi nanti tidak semua wilayah harus ada posko, tapi disesuaikan dengan situasi pandemi," ujar Ema, di Balai Kota Bandung, Senin (8/2).

Ema mencontohkan, jika dalam satu RW ada enam warganya yang positif Covid-19, maka lurah di RW tersebut wajib mengajukan penerapan PPKM Mikro.
"Mekanismenya tetap, lurah nanti yang mengajukan kepada kami (Satgas Kota), nanti keluar keputusan Wali Kota. Sekarang ini mungkin RT RW tidak tahu ada di level apa, nanti Dinkes yang bakal menginformasikan datanya," katanya.
Jika satu wilayah sudah menerapkan PPKM mikro, aparat dikewilayahan itu wajib pula mendirikan posko untuk pemantauannya.
"Di posko itu nanti isinya data pasien Covid-19, bukan seperti pos ronda. Posko itu fungsinnya untuk pencegahan, penanganan, pembinaan dan memberikan dukungan percepatan penanganan," ujarnya.
Menurut Ema, posko ini bisa memanfaatkan kantor RW di wilayah masing-masing yang menerapkan PPKM.
"Jadi kalau daerah itu tidak merah, tidak perlu membuat posko," katanya
Ema juga mengatakan, berdasar hasil rapat terbatas (ratas) bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), mereka juga memutuskan untuk mengajukan beberapa pelonggaran dalam PPKM lanjutan ini.
"Kita menyiapkan bahan kebijakan pimpinan, belum menjadi keputusan, berangkat dari situasi dan kondisi pandemi yang terjadi di Kota Bandung," kata Ema.
Beberapa pelonggaran yang diajukan ke Wali Kota Bandung itu seperti perpanjangan jam operasional untuk mal, pusat perbelanjaan, toko modern, kafe, restoran, rumah makan dan tempat hiburan menjadi pukul 21.00 WIB.
Bekerja dari rumah untuk instasi pemerintah dan swasta pun diajukan menjadi 50:50 serta kapasitas tempat ibadah 50 persen.
"Karena ekonomi harus bergerak dan regulasi di pemerintah juga memberikan ruang itu, makanya kita sepakat untuk jam operasional kita mengikuti ke Kemendagri," ujarnya.
Terkait penutupan jalan, kata Ema, tidak mengalami perubahan baik jam maupun titiknya.
PPKM Diragukan
Peneliti dan dosen Departemen dari Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dr Panji Hadisoemarto, mengaku ragu bahwa penerapan PPKM berskala mikro akan efektif untuk menekan penyebaran virus korona.
"Karena yang paling sulit adalah menentukan wilayah mana yang harus memberlakukan PPKM mikro dengan ketentuan pembatasan yang diharapkan," ujarnya kepada Tribun melalui telepon, kemarin.
Selain itu, kata Panji, indikator keberhasilan penerapan PPKM skala mikro juga belum jelas.
Belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk mengukur keketatan PPKM mikro di tingkat RT dan RW.
"Indikatornya itu (PPKM mikro) kan tidak ada kalau di level RT, paling hanya ada jumlah kasus. Jumlah kasus pun tidak tepat jika dijadikan indikator PPKM skala mikro tingkat RT RW. Maka kemungkinan besar akan terjadi miss terkait RT-RT yang harus di-PPKM-kan, karena mungkin penularannya dari luar," ujarnya.
Keraguan juga diungkapkan epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo.
Ia mengatakan konsep kebijakan PPKM mikro masih belum jelas, baik secara istilah maupun secara substansi.
Windhu mengatakan, kalau yang dimaksud dengan PPKM mikro adalah karantina wilayah tapi berskala mikro, berarti ada wilayah mikro (RT/RW/desa-kelurahan) yang dikarantina, tetapi ada juga yang tidak dikarantina.
"Tapi, apa indikatornya? Bukankah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yang sangat kecil di Indonesia (3 persen populasi saja belum sampai) kita seperti punya peta buta? Sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi/rendah," kata Windhu.
Windhu juga mempertanyakan status wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena dinilai tidak ada kasus atau kasusnya sedikit.
"Memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit? Itu bisa sangat menyesatkan, karena bisa saja itu semu karena kita tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah," kata Windhu.
Menurutnya, bila testing rate makin lemah, maka karantina wilayah yang diberlakukan harus makin makro, sedikitnya tingkat kota/kabupaten, atau tingkat provinsi, pulau atau nasional.
Makin tinggi testing rate, maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW. (syarif abdussalam/nazmi abdurahman/cipta permana/tribunnetwork)