Para Keluarga yang Memilih Tinggal di Gubuk Tanpa Listrik di Dekat Hutan Terlarang, Demi Kehidupan
Ratih (40) dan Sunsun (45) bergegas membawa dua anaknya Nanda (15) dan Sandi (14) ke dalam gubuk berukuran
Penulis: Mega Nugraha | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ratih (40) dan Sunsun (45) bergegas membawa dua anaknya Nanda (15) dan Sandi (14) ke dalam gubuk berukuran sekitar 30-an meter persegi saat kabut disertai gerimis, turun mengelilingi perkebunan di kaki punggung Gunung Papandayan sebelah timur, belum lama ini.
"Anak-anak ikut dibawa kesini karena d rumah enggak ada yang jagain, lagi pula lagi libur. Kami dari Pacet," ujar Sunsun, belum lama ini.
Di sudut lain, Abah Ahmad (50), sedang bercengkerama di teras gubuknya dengan memegang kopi panas serta memegang rokok kretek serta tubuhnya diselimuti sarung, saat kabut turun.
Gubuk-gubuk yang mereka tempati rata-rata berfondasi kayu, berdinding papan triplek kemudian dilapisi terpal. Atapnya terbuat dari asbes. Di dalamnya, rata-rata ada kasur lipat yang sudah tipis dan bantal.
Gubuk mereka berada salah satunya di perkebunan Tibet dan Lutung, perbatasan Desa Neglawangi, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung dan Desa Panawa, Kecaman Pamulihan, Kabupaten Garut. Desa Neglawangi berada di ketinggian 2072 MDPL, desa tertinggi di Kabupaten Bandung.
Baca juga: Pasangan Main Gisel Sudah di Depan Polisi, Fakta Baru Detik-detik Syuting Video Panas Terungkap Lagi

Perkebunan itu juga berada dekat dengan kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Papandayan yang terlarang untuk diakses.
Meski begitu, banyak warga yang melintasi untuk menuju Kawah Papandayan, baik untuk mendaki maupun lalu lintas warga Kabupaten Bandung menuju Kabupaten Garut dan sebaliknya.
Mereka yang menempati gubuk atau saung itu merupakan petani sayuran yang setiap hari, siang dan malam, tanpa aliran listrik tinggal di dalam saung, menunggui dan mengelola kebun.
"Tinggal disini selama sebulan, setelah itu pulang dulu ke rumah lalu balik lagi kesini. Tinggal di saung jagain kebun, mengolah tanahnya, menanam merawat dan memanen. Karena kalau pulang pergi tiap hari rumah saya jauh, di Pakenjeng Garut," ujar Abah Ahmad saat berbincang di saungnya belum lama ini.
Selama di saung, dia ditemani anaknya. Selama sebulan itu, mereka berdua merawat lahan kebun yang mereka garap sekitar 1 hektare di lahan PTPN VIII dengan ditanami kentang.
"Selain kalau pulang jauh, tinggal di saung juga supaya kebunnya terjaga dari hama kayak babi hutan," ucapnya.
Mereka yang tinggal di gubuk, mempersiapkan segala kebutuhan selama sebulan. Seperti berbekal beras, obat-obatan dan makanan sehari-hari hingga baterai untuk lampu penerangan portable.
"Enggak ada listrik. Penerangan malam pakai lampu baterai. Kalau tidur mah dimatiin lampunya supaya hemat baterai. Kalau saya disini per dua minggu. ujar Sukaesih (45) warga Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung.
Sejak 10 tahun terakhir dia menggarap lahan sekira 1 hektare lebih yang disewa dari pemerintah. Berton-ton kentang dihasilkan saat panen di kebun Sukaesih. Dia berkisah suasana malam di kebun di dekat hutan terlarang.
Baca juga: Jalan di Cianjur Dipasangi CCTV Mulai dari Ciranjang sampai Ciloto Puncak
