Santri di Soreang Dicabuli Guru
Guru Pelaku Pencabulan pada Santriwati di Soreang Mengaku Tak Menyetubuhi
Saat ditanya apa yang sudah dilakukannya kepada korban, EP mengaku tak menyetubuhi korban.
Penulis: Lutfi Ahmad Mauludin | Editor: Ravianto
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Tersangka pencabulan santri perempuan di Kabupaten Bandung, EP (36) mengelak pernah menyetubuhi korban.
Saat ditanya apa yang sudah dilakukannya kepada korban, EP mengaku tak menyetubuhi korban.
"Enggak sampai disetubuhi," ujar EP sambil tertunduk di Mapolresta Bandung, Soreang Kabupaten Bandung, Selasa (26/5/2020).
EP mengatakan, dirinya melakukan aksinya tersebut sudah dua tahun.
"Dua tahun pak, dua tahun," kata EP.
Ketika ditanya mengapa melakukan aksi bejadnya, apakah tertarik karena korban cantik, EP membantahnya.
"Enggak, khilaf aja," katanya.
EP mengungkapkan, ia melakukan aksi bejadnya kepada korban di sekolah dan di kontrakannya.
"Di sekolah dan di kontrakan, di sekolah di ruang seni," tuturnya.
Namun pengakuan tersangka tersebut berbeda dengan keterangan dari Polisi.
Menurut Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan, dari pengakuan korban, EP telah melakukan aksi bejadnya sejak usia korban 14-17 tahun, atau sekitar 4 tahun dan korban telah disetubuhi pelaku.
Orangtua Lapor Polisi
Seorang santri perempuan di Soreang Kabupaten Bandung, menjadi korban pencabulan gurunya, hingga berkali-kali dalam kurun waktu bertahun-tahun.
Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan, memaparkan, awal terungkap dugaan pencabulan tersebut berdasarkan dari laporan orangtua korban.
"Berlangsungnya (pencabulan tersebut) kurang lebih sampai 4 tahun, kejadiannya di salah satu sekolah di wilayah kabupaten Bandung," ujar Hendra, di Mapolresta Bandung, Selasa (26/5/2020).
Hendra mengatakan, pelaku pencabulan merupakan guru sekolah atau pesantren tersebut, yakni EP (36).
"Adapun modusnya berdasarkan pengakuan dari korban dengan cara ditakut-takuti (fotonya) akan disebarluaskan melalui media sosial," kata Hendra.
Hendra menjelaskan, pada awalnya korban diminta untuk memperlihatkan dirinya dengan tidak menggunakan hijab, dan difoto dengan tidak menggunakan hijab.
"Kemudian di sekolah itu ada aturan kalau tidak menggunakan hijab akan ada tindakan (diberi sanksi)," ujar dia.
Setelah mendapatkan foto korban tanpa hijab, kata Hendra, pelaku meminta korban difoto tanpa busana korban terpaksa menurutinya karena takut dengan ancaman. Hendra mengatakan, akhirnya berhasil difoto tanpa busana,
"Kondisi ini justru dimanfaatkan oleh pelaku, untuk berhubungan badan dengan cara mengancam (fotonya akan disebar luaskan). Kegiatan ini sudah berlangsung sampai dengan kurang lebih empat tahun dari korban berumur 14 sampai 17 tahun," katanya.
Hendra menjelaskan, dari kausu tersebut pihaknya mengamankan barang bukti berupa, Handphone, CPU komputer, baju lengan panjang warna putih, baju warna kuning, dan rok seragam warna abu.
"Pelaku melakukan (aksinya) di tempat situ juga, di pondok pesantren dan di rumah pelaku," katanya.
Menurut hendra, foto dan video korban belum disebarkan di medsos.
"Ancaman, belum dimunculkan (di media sosial). Jumlah foto dan videonya masih kita dalami," katanya.
Hendra mengatakan, atas perbuatannya pelaku terjerat pasal pasal 81 ayat 3 tentang persetubuhan yang dilakukan oleh tenaga pendidik, ini lebih berat kemudian juncto dengan pasal 64 KUHP.
"Pemberatannya, kita lakukan pemberatan tambah 1/3 perbuatan yang berulang, kemudian karena pengajar kita lakukan pemberatan, jadi minimal ancaman pidana lima tahun dan maksimal 15 tahun atau lebih," ucapnya.