Pemerintah Diminta Cermati Pengumuman Kasus Covid-19 atau Virus Corona
Direktur PN, Johan Neesken berpendapat bahwa persentase tingkat fatalitas atau CFR maupun tingkat kematian atau Death Rate sebaiknya tak diumumkan
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Dedy Herdiana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Poly Network (PN), sebuah kelompok peneliti jaringan sosial kualitatif independen dan non-partisan yang beranggotakan akademisi antropologi, sosial politik, dan praktisi teknologi informasi, meminta pemerintah mengkaji kembali pengumuman rasio kasus virus corona (Covid-19).
Direktur PN, Johan Neesken berpendapat bahwa persentase tingkat fatalitas atau Case Fatality Rate (CFR) maupun tingkat kematian atau Death Rate sebaiknya tidak diumumkan oleh pemerintah.
Pasalnya, CFR maupun Death Rate berpotensi disalahtafsirkan untuk sejumlah kepentingan yang tidak menguntungkan upaya percepatan penanganan wabah Covid-19.
• INNALILLAHI, Dokter Tugas di RSUD di Jabar Positif Virus Corona Meninggal Dunia, Dirawat di RSHS
"Lembaga official seperti WHO dan CDC US pun tidak melakukan hal itu," ujar Johan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/3/2020).
Menurutnya, sebagian besar diskusi terkini tentang risiko kematian akibat Covid-19 lebih fokus pada CFR. Dalam kasus terburuk, banyak yang menyalahgunakan data CFR untuk menentukan seberapa besar kemungkinan seseorang terinfeksi Covid-19 meninggal.
Meskipun CFR sebagai metrik yang relevan, namun kata Johan, CFR yang diumumkan ini tidak memberi tahu masyarakat tentang risiko kematian orang yang terinfeksi.
"Itu hanyalah rasio antara jumlah kematian yang dikonfirmasi dari penyakit dan jumlah kasus yang dikonfirmasi (bukan total kasus)," katanya.
Johan juga mengatakan adapun Death Rate sebagai ukuran yang sangat berbeda. Penghitungan dengan membagi jumlah kematian akibat penyakit dengan total populasi seringkali disebut dengan Death Rate. Ini penting untuk dibedakan, ujarnya, karena sayangnya masyarakat juga terkadang mengacaukan data CFR dengan Death Rate.
Dia mencontohkan pandemi flu Spanyol pada tahun 1918. Perkiraan yang sering dikutip oleh Johnson dan Mueller pada 2002 adalah bahwa 50 juta orang meninggal secara global dari pandemi ini. Hal ini menyiratkan bahwa 2,7 persen dari populasi dunia pada saat itu meninggal.
"Ini berarti death rate adalah 2,7 persen. Tetapi 2,7 persen sering salah dilaporkan sebagai CFR. Jika faktanya Death Rate adalah 2,7 persen, maka tingkat CFR jauh lebih tinggi karena tidak semua orang di dunia terinfeksi flu Spanyol," ujarnya.
CFR yang umum dilaporkan sebagai nilai tunggal bahkan konstanta biologis, ujarnya, juga patut disayangkan. Sebab, katanya, CFR bukanlah nilai yang terkait dengan penyakit yang diberikan, tetapi sebaliknya mencerminkan keparahan penyakit dalam konteks tertentu, pada waktu tertentu, dan dalam populasi tertentu.
"Kemungkinan seseorang meninggal karena suatu penyakit tidak hanya tergantung pada penyakit itu
sendiri, tetapi juga respons sosial dan individu terhadapnya, tingkat dan waktu perawatan yang mereka
terima, serta kemampuan individu yang diberikan untuk pulih dari penyakit itu," ujarnya.
Johan mengatakan infection fatality risk (IFR) adalah yang sebenernya mampu memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa besar kemungkinan seseorang yang terinfeksi Covid-19 meninggal karenanya.
IFR adalah jumlah kematian akibat suatu penyakit dibagi dengan jumlah total kasus. Untuk menghitungnya, kata dia, dibutuhkan dua metrik, yakni jumlah total kasus dan jumlah total kematian. Namun, untuk Covid-19, jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui karena tidak semua orang dites Covid-19.