Jauh Tertinggal dari Kabupaten/Kota Tetangga, Buruh KBB Tolak Kenaikan UMK Tahun 2020

erikat pekerja di Kabupaten Bandung Barat (KBB) menolak kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2020

Penulis: Hilman Kamaludin | Editor: Ichsan
tribunjabar/hilman kamaludin
Demo buruh di Kantor DPRD KBB, Rabu (18/9/2019). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin

TRIBUNJABAR.ID, NGAMPRAH - Serikat pekerja di Kabupaten Bandung Barat (KBB) menolak kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2020 sebesar 8,51 persen yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Jika mengacu pada aturan tersebut, kenaikan UMK KBB tahun depan diprediksi hanya sebesar Rp 246.683,25, sehingga UMK KBB yang tahun ini Rp 2.898.745.63 akan naik menjadi Rp 3.145.428.88 pada tahun depan, namun angka tersebut dinilai masih jauh dengan kabupaten/kota yang lain.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Nasional (SPN) KBB, Budiman mengatakan, dalam PP 78 tahun 2015 ini formulasi penghitungannya masih menggunakan UMK tahun lalu ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

"Harusnya kenaikan UMK ini berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing. Jadi kalau dalam PP 78 masih ada disparitas angka yang sangat jomplang," ujarnya saat dihibungi melalui sambungan telepon, Minggu (10/11/2019).

Pemprov Jabar Segera Terbitkan SK, Jawab Tuntutan Karyawan RSUD Al Ihsan

Ia menjelaskan, jika UMK KBB tahun ini besarnya Rp 2,8 juta, sedangkan daerah tetangga seperti Kabupaten Purwakarta dan Kota Bandung sudah di atas Rp 3 juta, maka KBB akan semakin tertinggal jauh jika memakai patokan PP 78/2015 tersebut.

"Dengan Kota Bandung saja kita sudah jauh tertinggal, sehingga kami tetap menolak karena kenaikan UMK dengan aturan itu masih merugikan para buruh. Seharusnya kenaikan UMK itu 15 persen," katanya.

Hal senada dikatakan, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) KBB, Dede Rahmat, jika kenaikan UMK KBB mengaju pada PP 78 nilainya akan semakin jauh di bawah kabupaten/kota tetangga, yang saat ini rata-rata sudah di atas KBB.

"Padahal buruh berharap kenaikannya bisa lebih dari 12 persen atau dikisaran Rp 3,4 juta karena angka itu mengacu kepada inflasi tahun depan dan hasil survei pasar," katanya.

Tiap Hari Meringis Kesakitan, Bocah Asal Cimahi Idap Tumor di Paru-paru, Harus Operasi Tak Ada Biaya

Menurutnya, PP 78 tahun 2015 justru membatasi hak berunding serikat pekerja, termasuk menggeser peran dari dewan pengupahan dalam melakukan survei pasar, karena kenaikan UMK langsung ditentukan oleh pusat.

Seharusnya, kata dia, survei pasar dilakukan sesuai dengan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana upah minimum ditentukan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditentukan melalui survei pasar, inflasi, dan PDRB daerah.

"KHL ditentukan lewat survei pasar oleh dewan pengupahan dan komponen yang disurvei diatur dalam Kepmenaker Nomor 13/2012 dimana ada sekitar 60 komponen yang harus disurvei," kata Dede.

Untuk itu, kedua elemen buruh ini akan melakukan audensi dengan bupati dan kalangan pengusaha untuk membahas kenaikan UMK ini sebelum rekomendasinya diserahkan ke provinsi pada 20 November 2019.

Dulu Eyang Subur Kontroversial, Guru Spiritual Beristri Banyak, Kini Muncul, Langsung Jadi Sorotan

Diberitakan sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Industri dan Syarat Kerja, Disnakertrans KBB, Intan Cahya Rachmat mengatakan, pihaknya masih mengkaji terkait kenaikan UMK tersebut dan masih melakukan survei pasar, survei KHL

"Setelah hasil survei pasar dan KHL keluar nanti akan kita rekomendasikan ke provinsi sebelum 20 November 2019, sekarang masih tahap kajian," ujarnya.

Sumber: Tribun Jabar
Tags
buruh
KBB
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved