Tuai Banyak Kritik, Jokowi Jelaskan Maksud Surpres Revisi UU KPK, Tidak Setuju pada 4 Hal

Jokowi tidak setuju terhadap beberapa substansi RUU inisiatif DPR yang berpotensi mengurangi efektifitas tugas KPK.

Editor: Kisdiantoro
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Presiden Joko Widodo melakukan sesi wawancara bersama Tribunnews.com di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/7/2019). 

TRIBUNJABAR.ID - Menuai banyak kritikan, Presiden Jokowi langsung menanggapi soal maksud surat presiden kepada DPR soal revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang diajukan oleh DPR RI.

Sebelumnya, Jokowi telah menandatangani surpres terkait revisi UU KPK tersebut.

Namun, rupanya ada beberapa substansi dalam revisi UU KPK yang tidak ia setujui.

Di antaranya soal penyadapap hingga pengelolaan LHKPN.

Dilansir dari Kompas TV, Jokowi tidak setuju terhadap beberapa substansi RUU inisiatif DPR yang berpotensi mengurangi efektifitas tugas KPK.

"Saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak, KPK cukup memperoleh izin dari dewan pengawas internal untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi di Istana Negara, Jumat (13/9/2019).

Sepak Terjang Lili Pintauli Siregar Pimpinan KPK, Pembela Kaum Lemah, Dibayar Pakai Seikat Kacang

Kemudian yang kedua, Jokowi juga mengatakan kalau dirinya tidak setuju kalau penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.

"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya, tentu saja harus melalui prosedur rekruitmen yang benar," tegasnya.

Kemudian yang ketiga, Jokowi juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam penuntutan.

"Karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi," kata Jokowi

Kemudian untuk pengelolaan LHKPN, menurut Jokowi sudah tepat diurus oleh KPK.

Irjen Firli Disebut Sosok Kontroversial Terpilih Jadi Ketua KPK, Profesor LIPI Anggap Pelemahan KPK

"Saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK diberikan kepada kementerian atau lembaga lain, tidak, saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," jelas Jokowi.

Kemudian terhadap beberapa isu lain, Jokowi memiliki catatan dan pandangan yang berbeda terhadap substansi yang disampaikan oleh DPR.

"Perihal keberadaan dewan pengawas, ini memang perlu, karena semua lembaga negara, Presiden, MA, DPR, bekerja dalam sistem check and balances saling mengawasi, hal ini dibutuhkan untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kewenangan," kata Jokowi.

Untuk itu, Jokowi merasa perlu adanya dewan pengawas di internal KPK.

"Tapi anggota dewan pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat anti korpsi, bukan dari politisi, birokrat maupun aparat penegak hukum aktif," tandasnya.

Kemudian untuk pengangkatan anggota dewan pengawas ini, kata dia, diangkat oleh presiden dan dijaring oleh panitia seleksi.

"Saya ingin memastikan tersedia waktu transisi yang memadai untuk menjamin KPK tetap menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya dewan pengawas," katanya lagi.

Lalu soal SP3, menurut Jokowi hal itu juga diperlukan.

"Penegakkan hukum juga harus tetap menjamin prinsip-prinsip HAM dan untuk memberikan kepastian hukum, jika RUU initiatif DPR memberikan batas waktu maks 1 tahun dalam pemberian Sp3, kami meminta ditingkatkan jadi 2 tahun supaya memberi waktu bagi KPK, yang penting ada kewenangan KPK yang memberikan SP3 yang bisa digunakan ataupun tidak digunakan," ungkapnya.

Kemudian untuk pegawai KPK, menurut Jokowi statusnya sebagai PNS, sebab hal ini juga terjadi di lembaga lain yang mandiri, seperti MA dan MK, juga KPU, Bawaslu.

"Tapi saya menekankan agar implementasinya perlu dijalankan dengan penuh kehati-hatian, Penyelidik dan penyidik KPK yang ada saat ini masih tetap menjabat dan tentunya mengikuti proses transisi menjadi ASN," ujarnya.

Kemudian Jokowi juga berharap agar semua pihak bisa membicarakan isu-isu ini dengan jernih, objektif, tanpa prasangka berlebihan.

"Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi memang musuh kita bersama, dan saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi di negara kita, yang punya kewenangan lebih kuat dari lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," ungkapnya.

Isi Surat Saut Situmorang yang Sangat Menyentuh, Pamit dari KPK, Sebut Banyak Nama, Tak Ada Jokowi

Kritik Laode M Syarif

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Laode M Syarif menyatakan, revisi UU KPK merupakan preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia.

Menurut Laode, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berkonspirasi untuk melucuti kewenangan KPK.

"Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia, di mana DPR dan pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi atau sekurang-sekurangnya memberitahu lembaga tersebut (KPK) tentang hal apa yang akan direvisi. Ini jelas bukan adab yang baik," kata Laode dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com, Kamis (12/9/2019).

Diketahui, kini revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK akan dibahas oleh pemerintah dan DPR usai Presiden Joko Widodo menerbitkan surat presiden (surpres) pada kemarin Rabu (11/9).

KPK, lanjutnya, menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang seakan-akan menyembunyikan sesuatu dalam membahas revisi UU KPK.

"Tidak ada sedikitpun transparansi dari DPR dan pemerintah," ungkap Laode.

Diketahui, Surpres yang dikirimkan ke DPR berisi penjelasan dari Presiden bahwa ia telah menugaskan menteri untuk membahas UU KPK bersama dewan.

Irjen Firli Disebut Sosok Kontroversial Terpilih Jadi Ketua KPK, Profesor LIPI Anggap Pelemahan KPK

"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (11/9/2019) hari ini.

Bersama surpres itu, dikirim daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM. 

DIM itu berisi tanggapan Menkumham atas draf RUU KPK yang disusun DPR.

Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR.

Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang. Draf revisi langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.

Ia juga belum membalas konfirmasi Kompas.com lewat aplikasi obrolan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pimpinan KPK Saut Situmorang Mundur, Minta Maaf ke Pegawai"

Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved