Maestro Kacapi Aki Dadan Dirundung Pilu, Rumahnya Ambruk, Ngungsi di Lembaga Kebudayaan Cianjur
Sang maestro kacapi ( alat musik tradisional Sunda) Dadan Sukandar atau yang akrab disapa Aki Dadan, kini sedang dirundung pilu.
Penulis: Ferri Amiril Mukminin | Editor: Dedy Herdiana
"Aki mah malu untuk minta bantuan, apalagi ke pemerintah. Seadanya saja, kalaupun ada pihak yang membantu Aki terimakasih karena telah peduli ke Aki dan keluarga," ujar dia.
Aki Dadan memilih tinggal di ruangan yang sudah diubah sebagai tempat tinggi di gedung kesenian Cianjur. Di samping lebih nyaman, dia juga lebih memilih di gedung LKC lantaran memudahkan dirinya untuk mengajar generasi muda Cianjur yang ingin mengenal dan mendalami seni Mamaos Cianjuran.
"Sering ada yang ke sini, untuk belajar. Makanya Aki mah di sini saja. Ditambah kan kalau di sana juga bisa dilihat sendiri kondisinya. Di sini juga jadi tidak kagok Aki mengajar, supaya Mamaos Cianjuran ini tetap bertahan dan tidak dilupakan," katanya.
Aki Dadan mengatakan ia mulai mengenal kesenian Mamaos Cianjuran sejak usia dini.
Pasalnya, orangtua dari Aki dadan, yakni Endu Sulaeman dan Warsah juga merupakan pelestari Cianjuran. Terlebih leluhur dari Aki Dadan sendiri yakni Abdi Dalem Pemerintahan Cianjur di Bidang Seni.

Sejak Usia 17 Tahun
Ia menceritakan mulai fokus untuk mendalami Seni Mamaos Cianjuran di usia 17 tahun dan tampil bersama dengan ayahnya di berbagai kegiatan kesenian.
Di usia 18 tahun dirinya seringkali tampil di depan Presiden RI, Ir Soekarno ketika Sang Proklamator tersebut berkunjung ke Istana Kepresidenan Cipanas.
"Dari tahun 1962 sampai 1964, Aki sering tampil di depan Presiden Soekarno. Kalau beliau berkunjung ke Istana Presiden Cipanas, pasti harus ada penampilan Mamaos Cianjuran. Tapi itu berhenti setelah perpindahan kekuasaan ke presiden berikutnya," katanya.
Tidak hanya tampil di Ibu Kota, Aki Dadan juga pernah berangkat ke Jepang untuk tampil di sana.
"Kalau aki paling sampai Jepang, tapi murid-murid Aki ada yang sudah tampil di Roma di Eropa, dan negara lainnya," kata dia.
Jenuh dengan Jakarta, dia pun mengaku memilih kembali ke Cianjur sekitar tahun 1990. Dia juga ingin melihat perkembangan Mamaos Cianjuran di tanah kelahirannya. Namun ternyata kesenian tersebut malah meredup.
"Melihat kondisi itu, Aki bertekat untuk terus melestarikan Mamaos Cianjuran di Cianjur sendiri.
Pada akhirnya seni trasional sebenarnya akan punah seiring perkembangan zaman, Aki hanya berupaya untuk menunda kepunahan tersebut," katanya.
Aki Dadan menambahkan, hampir setiap hari ada anak-anak yang belajar. Dia pun tidak mematok biaya untuk mereka bisa belajar langsung pada sang maestro.