Disertasi Karya Abdul Aziz Tentang Hubungan Seksual Nonmarital: Ketelitian dan Keteledoran Syahrur

Berbeda dari kehebohan di dunia maya, kaum akademisi lebih kalem melihat topik disertasi yang Abdul Aziz angkat.

Editor: Ravianto
ist
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumnus Universitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015. 

Pertama-tama, ulama menekankan pentingnya tahap penggeseran hak milik. Dari yang semula perempuan merdeka namun berada di bawah kuasa orang kafir. Setelah perang, mereka berstatus budak namun di bawah kuasa Islam. Karenanya, Imam as-Syafi'i mengartikan milk al-yamin sebagai budak tawanan perang (as-Syafi'i, al-Umm, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, juz 5: 151, juz 6: 392), atau sebagai budak yang dibeli dari majikan (Said bin Mansur, Sunan Said bin Manshur, jilid 8, Riyadh: Dar Suma'i, 2012: 12).

Imam Syafii memberi contoh analisanya terhadap sikap Rasulullah saw, yang suatu hari beliau tidak menanyai perempuan-perempuan tawanan perang tentang suami-suami mereka yang memusuhi Islam. Bagi Imam Syafii, sikap diam Rasulullah semacam itu adalah indikasi bahwa perang memutus hubungan perempuan dengan masa lalu mereka. Sebab, masa lalu mereka bernuansa permusuhan atas Islam.

Status budak dalam Islam perlahan digeser. Mereka mulai diperlakukan secara terhormat. Salah satu buktinya, pernikahan dilakukan melalui prosedur hukum. Asad mengatakan, milk al-yamin sekalipun diartikan sebagai budak namun tetap dinikahi secara prosedur hukum, sehingga hubungan seksualnya bersifat marital (Muhammad Asad, the Message of the Quran, Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980: 106).

Untuk memuluskan jalan menuju pernikahan marital, terlebih dahulu dilakukan sakralisasi status. Status milk al-yamin dipahami sebagai status yang sakral. Artinya, status milk al-yamin hanya diperuntukkan bagi tawanan melalui perang fi sabilillah. Bukan sembarang perang, apalagi perang yang tujuannya duniawi dan perebutan wilayah kekuasaan semata (Muhammad Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: Hidakarya Agung, 1999: 496). Dalam konteks ini, status milk al-yamin tidak bisa disematkan pada tawanan perang.

Sakralisasi status menjadi alasan utama yang membuahkan sikap penghormatan. Milk al-yamin sekalipun budak, status kebudakannya sakral, berada di bawah kuasa Islam, sehingga harus dinikahi melalui prosedur hukum. Harkat martabat kemanusiaan mereka sebagai budak-budak milk al-yamin akan dijaga (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2011: 480).

Terakhir, demi tujuan pembebasan dan anti-perbudakan, tanpa meninggalkan literalisme al-Quran, para ulama dan fuqaha memaknak milk al-yamin sebagai status yang sudah kadaluarsa. Milk al-yamin bisa diartikan sebagai mantan budak, dan karenanya hubungan seksual hanya boleh dilakukan pasca menjalani proses hukum pernikahan (M. Syamsi Ali, Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia, dalam http://media.isnet.org/kmi/, diakses 08 Pebruari 2011).

Syahrur tidak menangkap perjalanan sejarah pemikiran Islam tentang milk al-yamin yang evolutif ini. Padahal, semua bergerak dengan mengarah pada praktek pembebasan dan spirit anti-perbudakan. Hal itu dapat dilihat dari paradigma dan perlakuan sahabat-sahabat Nabi terhadap budak tawanan. Para sahabat terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada Nabi, menanyakan bagaimana cara Islami memperlakukan para budak. Muslim awal tidak serta merta menggunakan paradigma Jahiliyah dalam menyetubuhi budak-budak.

Sebuah riwayat dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: Ketika Rasulullah SAW menawan kaum Auṭas, kami berkata, "Wahai Rasulullah SAW, bagaimana jika kami mengawini para wanita yang telah kami ketahui keturunan mereka dan status mereka (bersuami atau tidak)?" Lalu turunlah ayat al-Quran tentang milk al-yamin.

Pada suatu kejadian lain, seorang sahabat Nabi terlanjur bersetubuh dengan perempuan tawanan perang, tanpa sempat konsultasi. Dia pun merasa berdosa dan bermaksiat. Dia buru-buru menghadap Rasulullah untuk melaporkan kejadian, sehingga turunlah ayat tentang milk al-yamin yang membenarkan perbuatannya (Ibn Abi Hatim, Tafsīr, jild. 3, 961). 

Fenomena historis tentang "konsultasi" sahabat pada Nabi dalam memperlakukan budak tawanan perang, dan perasaan berdosa mereka karena bersetubuh tanpa memastikan dasar hukum terlebih dahulu, adalah corak pergeseran paradigma, pemikiran dan sikap masyarakat Arab yang sebelumnya masih Jahiliyah. Perlahan mereka belajar hukum dan paradigma Islam. 

Disertasi Abdul Aziz yang lolos dari pengujian pakar kajian islam dari UIN Sunan Kalijaga adalah contok pemikiran Islam yang evolutif, tapi karena ia cenderung repetitif atas pemikiran Syahrur maka tampaklah hanya sebatas repetisi dan afirmasi. Disertasi ini terkesan hanya mengharapkan fungsi aksiologis pemikiran Syahrur, yakni harapan adanya perubahan perundangan di Indonesia, tanpa melakukan hal lain yang jauh lebih penting, yakni kajiam konstruktif bahkan dekonstruktif atas epistemologi Syahrur yang kurang matang di mata para pengkritik. Sepanjang halaman disertasi, tidak akan ditemukan narasi para pengkritik Syahrur.

Tanpa kritik konstruktif atau bahkan dekonstruktif yang berarti, epistemologi Syahrur hanya mengalami repetisi dan itu berarti tidak ada inovasi. Padahal, perkara epistemologi yang belum aman dari keberatan-keberatan kaum akademisi tidak kalah pentingnya dibahas lagi, sebelum melompat ingin meraih apa yang bisa diraih dari fungsi aksiologis pemikiran Syahrur. Sayangnya, UIN Sunan Kalijaga meloloskan penelitian semacam itu.[]

*Alumnus Univeraitas al Azhar Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Wakil Ketua Rabithah ma'ahid Islamiyah- asosiasi pondok pesantren se Indonesia- Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) periode 2010-2015.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved