Di Sidang Pleidoi Korupsi Hibah Tasikmalaya, Pengacara Abdulkodir Salahkan Penerima Hibah
Tim penasehat hukum terdakwa Abdulkodir, eks Sekda Pemkab Tasikmalaya, menilai penyaluran dana hibah sudah sesuai mekanisme peraturan undang-undang
Penulis: Mega Nugraha | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG- Tim penasehat hukum terdakwa Abdulkodir, eks Sekda Pemkab Tasikmalaya, menilai penyaluran dana hibah sudah sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan, misalnya, penyaluran dana hibah dilakukan secara transfer ke penerima hibah.
Menurut mereka, kalaupun terjadi pemotongan dana terhadap ke-21 penerima, itu sudah di luar tanggung jawab dan bukan kesalahan Abdulkodir maupun Bupati Tasikmalaya saat itu, Uu Ruzhanul Ulum.
Kala itu, Abdulkodir dan Uu Ruzhanul Ulum meminta dicarikan dana untuk Musabakoh Qiroatul Kubro (MQK) dan pencairan hewan kurban.
"Terhadap pemotongan dana hibah, itu harus jadi tanggung jawab penerima hibah karena mekanisme penyaluran dana hibah sudah sesuai. Fakta penerima hibah menerima dana didukung oleh saksi penerima dan hibah," ujar Bambang Lesmana, Ketua Tim Penasehat Hukum Abdulkodir di sidang pledoi kasus korupsi dana hibah Pemkab Tasikmalaya di Pengadilan Tipikor pada PN Bandung, Senin (8/4).
Kata Bambang, dalilnya itu juga didukung oleh saksi ahli yang sudah dihadirkan di persidangan yang menyebut bahwa jika penerima dana hibah sudah menerima dana hibah tersebut, maka tanggung jawab mutlak terdapat pada penerima hibah itu sendiri.
• 9 Terdakwa Korupsi Dana Hibah Pemkab Tasikmalaya Jalani Sidang Tuntutan, Tak Terbukti Dakwaan Primer
• Aktivis Antikorupsi Sayangkan Jaksa Tidak Dalami Keterlibatan Uu Ruzhanul Ulum di Korupsi Dana Hibah
"Pendapat kami didukung oleh saksi ahli yang menyebutkan bahwa seharusnya penerima hibah tidak memberi uang terhadap setiap permintaan. Sepanjang permintaan tak disertai ancaman, pemberian itu dianggap sukarela. Adapun saat penerima hibah mencairkan dana untuk apa dan siapa, itu mutlak tanggung jawab penerima hibah," ujar Bambang.
Abdulkodir dituntut pidana penjara selama 2 tahun karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUH Pidana.
Pasal 3 itu yakni setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
"Dengan fakta persidangan yang didukung saksi dan alat bukti yang menyebutkan mekanisme pemberian hibah sudah sesuai aturan, kami berpendapat, unsur menyalahgunakan jabatan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Bambang.
Pendapat tim penasehat hukum ini sebenarnya terbantahkan dengan fakta sidang pada 10 November 2018 yang menghadirkan saksi penerima hibah.
• Pipa PDAM Bocor, Pelanggan Keluhkan Debit Air yang Berkurang
• Warga Tanjungsari Katakan Macet di Depan Pasar Penyakit Menahun, Heran Tak Bisa Diatasi
Saat itu, saksi-saksi menyebut, persyaratan penerima hibah ini tidak sesuai karena banyak penerima hibah yang belum berbadan hukum.
Namun, terdakwa Setiawan memanipulasi berkas persyaratan badan hukum penerima hibah sehingga seolah-olah sudah sesuai aturan penyaluran dana hibah. Seperti dikatakan saksi Komar (50), pemilik Yayasan dan Pesantren Al Munawaroh.
Sebelum kasus ini bergulir, Yayasan miliknya belum berbadan hukum. Namun, Setiawan mengurus semua persyaratan penerima hibah. Anehnya, Komar mendapat dana hibah dua kali, pertama pada Januari 2017 untuk yayasan dan akhir 2017 untuk pesantren. Padahal, aturan pemberian dana hibah hanya untuk sekali dalam satu tahun.
"Yayasan cair Rp 150 juta pada Januari 2017 dan pondok pesantren Rp 250 juta pada akhir 2017. Akta notaris dan SK Kemenkum HAM nya semua diurus oleh Setiawan. Yayasan dan pontren saya memang sudah berdiri lama tapi baru diurus legalitasnya sekarang. Proposal juga dia yang bikin, saya hanya tanda tangan saja dan buka rekening di Bank BJB," ujar Komar.
• Luna Maya Histeris Nonton Konser BTS, Bela-belain Naik Motor, Suaranya Bocor Sebut RM BTS Ganteng
• TKN Sayangkan Ucapan Ndasmu Prabowo di Kampanye, Disebut Ingin Jiplak Karakter Donald Trump
Dalam kasus ini, fakta persidangan mengungkap perintah Uu yang meminta Abdulkodir dan terdakwa Maman Jamaludin untuk dicarikan dana untuk program MQK dan dan pembelian hewan kurban. Namun, APBD Tasikmalaya tidak menganggarkan dana untuk itu.
Abdulkodir berinisiatif merencanakan pencairan dana hibah untuk 21 penerima dan setelah cair, terdakwa Setiawan melakukan pemotongan sebesar 90 persen. Majelis hakim sempat memanggil Uu dua kali ke persidangan namun Uu tidak pernah datang.
"Ketidak hadiran pak Uu Ruzhanul Ulum di persidangan berdasarkan saksi - saksi yang menyebut ada perintah pencarian dana, harus dianggap sebagai pengakuan yang tidak terbantahkan dan kami memohon majelis hakim untuk mencatat fakta sidang itu dan jadi fakta hukum yang diakui kebenarannya," ujar Bambang.
Seperti diketahui, kasus ini melibatkan sembilan terdakwa. Yakni Sekda Pemkab Tasikmalaya Abdulkodir, Kabag Kesra Maman Jamaludin, Sekretaris DPKAD Ade Ruswandi, Endin selaku Kepala Inspektorat Daerah, Alam Rahadian Muharam dan Eka Ariansyah selaku staf ASN di Bagian Kesra. Sisanya non ASN yakni Lia Sri Mulyani, Mulyana, dan Setiawan dengan kerugian negara Rp 3,9 miliar.