Demo Buruh

Buruh Minta Kenaikan UMK 20 Persen, Pemerintah Tetapkan Pakai Hitungan PP 78/2015

Ribuan buruh melakukan Unjuk Rasa di kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Senin (19/11/2018). Mereka menuntut kenaikan UMK 20 persen.

Editor: Kisdiantoro
Tribun Jabar/ theofilus Richard
Ribuan buruh menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (19/11/2018). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ribuan buruh melakukan Unjuk Rasa di kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Senin (19/11/2018).

Ribuan buruh melakukan Ujuk Rasa menjelang penetapan upah, upah minimum kabupaten/kota.

Buruh perlu melakukan Unjuk Rasa karena setelah lahirnya PP 78/2015, keterlibatan buruh dalam menetapkan UMK tidak terakomdir.

Untuk itu melalui aksi damai di kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate Bandung tersebut, buruh menyatakan ada 5 tuntutan :

1. Penetapan UMK 2019 berdasarkan UU 13/2003 pasal 88 ayat (4), dan kenaikan UMK 2019 sebesar 20% dari UMK 2018.

2. Tolak segala bentuk upah yang nilainya dibawah UMK 2019.

3. Cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Gubernur membuat surat pencabutan secara resmi tentang PERGUB No. 54 tahun 2018.

5. Gubernur membuat surat edaran kepada Bupati/Walikota se- Jawa Barat, untuk memfasilitasi perundingan UMSK tahun 2019.

Ribuan Buruh Demonatrasi di Depan Gedung Sate, Ini Tuntutannya

Berbeda dengan tuntutan buruh, pemerintah menghitung kenaikan UMK berdasarkan PP 78/2015.

Bahkan UMP pun sudah ditetapkan dengan kenaikan sebesar 8,03 persen.

Besaran UMP Provinsi Jabar 2019

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( KSPSI) menolak Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar tahun 2019 sebesar Rp 1.668.372, atau naik 8,03 persen.

Hal tersebut disampaikan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto di Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/11/2018).

"UMP kenaikan 8,03 persen itu jelas kita tolak," kata Roy Jinto.

Seperti diketahui sebelumnya, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengumumkan UMP Jabar tahun 2019 sebesar Rp 1.668.372, angka tersebut naik sebesar 8.03 persen dari sebelumnya sebesar Rp 1.544.360.

Penetapan tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1046-Yanbangsos/2018 tentang UMP Jawa Barat Tahun 2019.

Adapun alasan penolakan itu, kata Roy Jinto, karena Jabar tidak membutuhkan UMP.

Berunjuk Rasa, Buruh Tuntuk Kenaikan UMK Kabupaten Cirebon Minimal 25-30 Persen

Sebab, Jabar sendiri memiliki upah minimum kota (UMK) di 27 kabupaten/kota yang akan ditetapkan pada tanggal 21 November 2018 nanti.

"Yang disebut upah minimun berlaku itu upah minimum kabupaten/kota bukan UMP, maka ketika gubernur menetapkan UMP yang menjadi pertanyaan UMP ini buat siapa? Buat perusahaan mana? Beda dengan DKI, UMP karena memang tidak memiliki UMK, jadi berlaku di Jakarta itu adalah UMP, sedang di Jabar yang berlaku UMK kabupaten/kota di 27 kabupaten/kota yang akan ditetapkan pada tgl 21 November nanti," tuturnya.

Lebih lanjut Roy Jinto mengatakan bahwa penetapan UMP yang diumumkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).

"Penetapan UMP ini gubernur berdasarkan PP 78, surat edaran menteri yang inflasi pertumbuhan ekonomi akhirnya menjadi 8,03 persen," ujarnya.

"Nah kalau kita melihat UU Nomor 13 bahwa UU 13 Pasal 88 itu gubernur dalam menetapkan upah minimum itu harus berdasarkan KHL, kemudian pertumbuhan ekonomi dan produktifitas. Artinya UMP ini dipastikan penetapannya tidak berdasarkan KHL."

Kenaikan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat Naik, Buruh Sejahtera? Cek Dulu Kenaikan Harga-harga

Roy Jinto bahkan menilai bahwa selama ini pun dewan pengupahan tidak pernah menyuvei KHL, sehingga penetapan UMP yang diumumkan gubernur Jabar hanya berdasarkan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.

"Dengan demikian UMP ini bertentangan dengn UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sehingga tentu sikap kita menolak," tegasnya.

Dewan pengupahan Emil juga memutuskan untuk mencabut Peraturan Gubernur Jabar No 54/2018 tentang Tata Cara Penetapan dan Pelaksanaan Upah Minimum di daerah Provinsi Jawa Barat.

Menanggapi hal itu, Roy Jinto mengapresiasi pencabutan tersebut.

Menurutnya, Pergub Nomor 54 tentang Tata Cara Penetapan dan Pelaksana Upah Minimum dianggapnya sebagai adopsi dari PP 78.

"Karena banyak bertentangan dengan UU, salah satunya penetapan upah sektor itu harus ada kuasa di perusahaan masing-masing, kedua upah sektor berlaku per Februari," katanya.

Pergub ini pun dinilainya bertentangan dan menghilangkan fungsi dewan pengupahan seutuhnya.

Pasalnya, kata Roy Jinto, apabila dewan pengupahan tak menyetujui berita acara upah minimum, cukup hanya dengan tanda tangan ketua dan sekretaris.

"Kalau misalkan salah satu unsur tak menyetujui itu maka sah menurut pergub tersebut hanya tanda tangan ketua dan sekretaris. Sementara kita ketahui bersama ketua dewan pengupahan itu kepala Dinas Ketenagakerjaan, kemudian sekretarisnya, kabidnya, ya sudah ngapain saja," kata Roy Jinto.

"Kalau dibutuhkan dua tanda tangan itu enggak usah dewan pengupahan. Karena dalam Pergub itu disahkan kalau terjadi deadlock, tidak ada voting dan salah satu pihak tak setuju bahwa berita acara itu sah ditandatangani ketua dan sekretaris dewan pengupahan," katanya.

Roy Jinto menilai, dewan pengupahan ini hanya formalitas, yakni memberikan ruang untuk mengusulkan. Kalau dewan pengupahan menolak dan enggak bersedia menandatangan, kebijakan upah tetap sah.(*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved