Fenomena Mabuk Rebusan Pembalut Wanita, Sebenarnya Apa Kandungan di Pembalut Wanita?

Sitti Hikmawatty menerangkan KPAI terus berkoordinasi dengan banyak pihak agar fenomena ini bisa ditangani.

Editor: Ravianto
shutterstock via Tribunnews
Ilustrasi pembalut 

TRIBUNJABAR.ID, SEMARANG - Fenomena kenakalan remaja mabuk air rebusan pembalut tengah menjadi perbincangan akhir-akhir ini.

Fenomena mabuk air rebusan pembalut sebenarnya tidak baru-baru amat terjadi di Jawa Tengah.

Seperti dilaporkan Tribun Jabar pada Jumat (9/11), Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah menemukan dua kelompok anak jalanan yang menggunakan air rebusan pembalut untuk mabuk dalam dua bulan terakhir.

Kabid Pemberantasan BNNP Jateng AKBP Suprianto, dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TvOne pada Kamis (8/11) kemarin, mengatakan, minum air rebusan pembalut jadi alternatif remaja untuk mendapat efek seperti narkotika.

Lebih dari itu, air rebusan pembalut lebih murah dibanding membeli narkoba yang memang mahal harganya.

Kepada Tribunnews.com, Komisioner KPAI bidang Kesehatan dan NAPZA Sitti Hikmawatty mengatakan, pihaknya merasa sangat prihatin dengan semakin banyaknya kasus ditemukan anak-anak yang meminum rebusan pembalut.

Sesuai data yang masuk di KPAI, kasus ini bukanlah kasus baru.

"Pada saat kami tangani kasus penyalahgunaan PCC, 2017 lalu juga sudah kita temui, namun jumlahnya relatif kecil," ujar Sitti Hikmawatty saat dikonfirmasi Tribunnews, Kamis (8/11).

Kegiatan remaja yang mencari alternatif zat yang dapat membuat mereka 'fly', tenang ataupun gembira, ucap Sitti Hikmawatty, awalnya didapatkan secara coba-coba atau eksperimen.

"Jadi kalau kita mengenal beberapa golongan Psikotropika di luar Narkoba, maka beberapa zat 'temuan' para remaja ini termasuk kelompok eksperimen psikotropika," kata Sitti Hikmawatty.

Sitty berujar jumlahnya memang belum bisa diprediksikan, karena berkaitan erat dengan jumlah anak serta kreativitas "meramu" bahan-bahan yang mudah didapat dipasaran.

Minum air rebusan pembalut juga didapat dari coba-coba, selain fenomena lain seperti ngelem, dan lainnya.

Ditengarai anak-anak itu mempelajari lewat internet. Sehingga mereka bisa membuat beberapa varian baru, dari racikan coba-coba.

Menurut Sitti Hikmawatty, tingkat resiko atau bahaya menjadi meningkat karena mereka hanya konsen pada satu zat tertentu dalam sebuah bahan, namun zat lainnya cenderung diabaikan sehingga reaksi sampingan yang terjadi bisa berakibat fatal.

Hasil penelusuran KPAI mendapatkan bahwa awalnya dorongan ekonomilah yang membuat mereka melakukan percobaan ini.

Sumber: Grid.ID
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved