Ribuan Buruh Pabrik di Bandung Terancam PHK, Jika Pelemahan Kurs Rupiah Berlanjut

Terus melemahnya nilai tukar rupiah (kurs rupiah) terhadap dolar Amerika Serikat mulai berdampak pada industri tekstil di Kabupaten Bandung.

Penulis: Seli Andina Miranti | Editor: Kisdiantoro
TRIBUN JABAR/SELI ANDINA
Seorang pekerja sedang mengoperasikan mesin penenun di perusahaan kain sarung di Majalaya, Kabupaten Bandung, Senin (10/9/2018). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Seli Andina Miranti

TRIBUNJABAR.ID, MAJALAYA - Terus melemahnya nilai tukar rupiah (kurs rupiah) terhadap dolar Amerika Serikat mulai berdampak pada industri tekstil di Kabupaten Bandung.

Puluhan ribuan buruh pabrik tekstil di Majalaya terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Beratnya biaya produksi akibat naik tajamnya bahan baku bahkan membuat sejumlah pabrik sudah mulai terpaksa merumahkan karyawannya.

Aep Hendar Cah'yad (54), pengusaha kain di Majalaya, mengatakan semua usaha kain sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, yakni benang, yang harganya sangat bergantung pada nilai dolar.

"Belakangan ini, ketika dolar naik, harga benang naik setiap minggu, sedangkan pasar, kan, tidak semudah itu menerima kalau harga naik terus," ujar Aep di kediamannya di Jalan Sukamanah, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Senin (10/9).

Bahan Baku Kain Mahal, Puluhan Ribu Buruh di Sektor Kain Majalaya Terancam Dirumahkan

Harga benang, kata Aep, sudah naik sejak setelah Idulfitri lalu. Harga benang, yang asalnya Rp 25 ribu per kilogram, kemarin sudah naik 40 persen menjadi Rp 35 ribu per kilogram.

Padahal, setiap pengusaha kain dalam seminggu rata-rata membutuhkan 10 hingga 15 ton benang.

"Dengan kenaikan itu, pengeluaran sebulan untuk bahan baku saja otomatis bertambah Rp 60 sampai Rp 100 juta. Ini berat sekali," kata Aep.

Di Kabupaten Bandung, terutama di Majalaya, kata Aep, kebanyakan usaha kain adalah usaha rumahan yang modalnya sangat terbatas.

Kurs Rupiah Mepet Rp 15.000, Rizal Ramli: Nyaris Krisis Finansial, Sudah Setengah Lampu Merah

Karena itu, kata dia, ketika harga bahan baku naik, para pengusaha hanya memiliki dua pilihan, yaitu mengurangi pembelian bahan baku atau menaikkan harga produk. Kedua pilihan itu pun, ujarnya, sama-sama memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi pengusaha.

"Kenaikan harga akan membuat produk sulit diserap pasar. Kalau pasar menerima mah, kenaikan tentu tak masalah," ujarnya.

Hal senada dikatakan Agus Ruslan (50), juga pengusaha kain Majalaya, saat ditemui di Sukamanah, kemarin. Menurut Agus, menguatnya nilai tukar dolar yang menimbulkan efek berantai ini membuat para pengusaha kain berada pada posisi dilematis.

"Istilahnya, begini salah begitu salah. Begini kemungkinan rugi, begitu kemungkinan lebih rugi lagi," kata Agus.

Menjelajah ke Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Ternyata Tak Sembarang Orang Bisa Masuk

Di sektor tekstil, kata Agus, efek domino menguatnya nilai tukar dolar ini tak akan berhenti pada pengusaha kain. "Ke depannya, pengusaha garmen pasti juga akan ikut merugi," kata Agus.

Di Kabupaten Bandung, ujarnya, terdapat 56 pengusaha kain yang terdaftar. Delapan puluh persen di antaranya merupakan pengusaha kain sarung, sedangkan sisanya pengusaha kain polosan.

"Itu pun sudah menyusut karena banyak pengusaha yang tak kuat. Awalnya, kan, ada sampai 350 pengusaha," ujar Agus.

Agus dan Aep berharap pemerintah memberikan perhatian dan peka terhadap tekanan yang dihadapi para pengusaha kain akibat "pukulan" menguatnya nilai tukar dolar ini.

"Tanpa campur tangan pemerintah, usaha kain milik para pengusaha menengah ke bawah di kabupaten ini hampir bisa dipastikan akan gulung tikar karena tak sanggup menutupi biaya bahan baku," kata Aep.

Aep mengatakan, selama ini harga benang selalu ditentukan oleh Asosiasi Produsen Benang. Para pengusaha kain hanya bisa menurut apa yang ditentukan asosiasi ini.

"Seperti kerbau dicocok hidung, naik seribu kami ikuti, naik dua ribu juga kami ikuti. Tidak pernah ada tawar-menawar dan tidak pernah pula ada informasi penyebab kenaikan," kata Aep.

Meski demikian, baik Aep maupun Agus menegaskan, apa pun caranya, para pengusaha tentu akan mati-matian berjuang agar tak sampai mem-PHK para karyawannya. "Tapi, itu (memberhentikan para pekerja) pasti akan dilakukan sebagai jalan terakhir jika usaha memang sudah tidak bisa berjalan lagi," ujar Aep.

Di Kabupaten Bandung saja, ujarnya, ada puluhan ribu orang yang menggantungkan hidup pada sektor kain dan produk kain, mulai dari pekerja pabrik, distributor, hingga pedagang. Sebagian besar pekerja di sektor kain tersebut berstatus buruh yang menggantungkan hidup hanya dari pekerjaan itu.

"Kalau sampai terpaksa diputus, bayangkan berapa banyak pengangguran baru yang akan lahir. Ini sektor padat karya," ujarnya.

Agus mengatakan, "pil pahit" memutuskan hubungan kerja akan terpaksa ditelan jika harga bahan baku terus-menerus naik. "PHK akan menjadi pilihan terakhir, sebab kami, para pengusaha, pun sebetulnya tidak mau memutus. Itu sumber nafkah orang," kata Agus.

Agar tidak merugi, kata Agus, para pengusaha bisa saja tetap melakukan produksi, tapi menahan semua produknya ke pasaran hingga harga kembali stabil. Namun, pilihan itu membutuhkan modal yang besar.

"Saat ini kami masih bisa menahan produk, tidak dijual dulu. Tapi harus sampai kapan? Modal kami terbatas," kata Agus.

Aep memprediksi, upaya menahan produk yang dilakukan mayoritas pengusaha kain di Majalaya hanya bisa dilakukan hingga sebulanan ke depan.

"Jika dalan sebulan ini harga bahan baku tak juga turun, para pengusaha mungkin akan terpaksa merumahkan atau bahkan mem-PHK para karyawannya. Ini sudah di depan mata. Pengangguran massal di Majalaya sudah di depan mata," kata Aep.

Menurut Aep, pengangguran menjadi sangat mencemaskan mengingat mayoritas karyawan pabrik-pabrik kain, terutama di pabrik-pabrik di kawasan Paseh, Majalaya, dan Solokan Jeruk, hanya lulusan SD atau SMP.

"Tanpa keahlian lain, mereka akan sulit untuk kembali memperoleh pekerjaan," kata Aep.

Agus mengatakan, selain tak berpendidikan tinggi, banyak pula pekerja yang sudah tidak dalam usia produktif, di atas 35 tahun.

BREAKING NEWS: Warga Temukan Mayat Bayi Laki-laki di Selokan, Ari-ari Masih Menempel

Karena itu, bila industri kain seperti miliknya gulung tikar, kemungkinan besar para buruh hanya akan berpindah menjadi pekerja serabutan atau pengangguran.

"Mau buka usaha sendiri, perlu modal. Melamar di pabrik besar, minimal harus punya ijazah SMA. Selain itu, kalau usia di atas 30 tahun mah, pabrik besar juga tidak mau," ujar Agus.

Kekhawatiran menganggur jika perusahaan kain tempatnya bekerja gulung tikar juga diakui Dadan (32), warga Sukamanah. Sudah dua tahun Dadan bekerja sebagai tukang potong kain.

Rumah Pak Eko di Bandung Dikepung Rumah Tetangga, Camat Cek Lokasi, Ini Denahnya!

Sebagai lulusan SMP, Dadan mengaku tak punya pilihan pekerjaan lain selain menjadi buruh potong kain di industri kain rumahan. Apalagi, ujarnya, ia tak punya keahlian lain. "Saya tak bisa menjahit, tak bisa mengutak-atik mesin, tak bisa memasak, hanya bisa potong-potong kain," kata Dadan.

Bila CV tempatnya bekerja gulung tikar, kata Dadan, ia tak tahu lagi harus bekerja di mana. "Saya bingung harus cari uang bagaimana kalau pabrik tutup. Ya, mungkin jadi pengangguran saja," ujar Dadan. 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved