Menapaki Jejak Eyang Dalem Cikundul, Pendiri Kabupaten Cianjur
Ia diberi tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor.
Penulis: Ferri Amiril Mukminin | Editor: Ravianto
TRIBUNJABAR.ID, CIANJUR - MENEMPUH perjalanan sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cianjur ke arah Utara setelah melewati Kecamatan Mande masuk ke jalur Cianjur-Jonggol maka sampailah di kawasan Kecamatan Cikalongkulon.
Kawasan pinggiran genangan Cirata ini identik dengan warga yang lalu-lalang dengan alat pancingan di tas punggungnya. Bulan ramadan banyak yang menghabiskan waktu 'ngabuburit' dengan memancing. Tak sedikit remaja yang keluar di sore hari mencari takjil ke kawasan alun-alun kecamatan.
Satu kawasan yang terkenal di kawasan Cikalongkulon ini adalah makam Raden Aria Wiratanu Datar atau yang akrab disapa Eyang Dalem Cikundul. Posisi makamnya berada di sebuah bukit, warga setempat menyebutnya pasir, masuk ke dalam wilayah Desa Cijagang.
Sekitar empat kilometer dari jalur Cikalongkulon-Cariu. Petunjuk arah cukup jelas di pertigaan jalan, jika masuk bulan Mulud maka peziarah dari berbagai daerah akan memadati kawasan Desa Cijagang.
Pendiri Kabupaten Cianjur Eyang Dalem Cikundul membuat kawasan yang awalnya bukit dan pesawahan kini berkembang menjadi ramai. Kios-kios yang menjajakan berbagai makanan dan pakaian akan dijumpai di gerbang masuk kawasan makam Cikundul.
Pelataran parkir yang luas sengaja dibuat, maklum jika sedang bulannya berziarah maka bus besar banyak terlihat di kawasan ini. Beberapa meter sebelum gerbang ada sebuah sungai yang mengalir dan dua jembatan hanya diperuntukkan bagi kendaraan roda dua.
Sebuah masjid terlihat di samping kiri. Beberapa penjaga makam atau yang akrab disapa 'kuncen', akan menyapa ketika Tribun mulai melangkah masuk.
"Asalamualaikum," ujar H Acep Mukti (71), seorang penjaga makam, sambil mempersilakan duduk.
Ia mulai bercerita ringan mengenai pendahulunya yang juga menjadi kuncen makam. Sore kemarin ada sekitar empat orang kuncen yang duduk santai sambil menunggu peziarah yang datang. Acep mengatakan bulan Mulud tahun ini peziarah mengalami penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya.
Ia menduga bencana yang membuat jembatan di Jonggol patah menjadi penyebabnya selain banjir di berbagai daerah.
"Banyak panitia yang mendapat kabar pembatalan kunjungan setelah jembatan Jonggol patah," katanya.
Dari papan kunjungan yang terdapat di sana tahun kemarin jumlah kunjungan mencapat angka 70 ribu orang sedangkan tahun ini hanya setengahnya saja yakni 34 ribu orang.
Baca: Jefri Nichol Terkejut sampai Loncat Lihat Sosok yang Dikiranya Kuntilanak, Ternyata Cuma Jemuran
Baca: Ternyata Inggris Pernah Serang Indonesia, Australia dan Selandia Baru Ogah Membantu
Mulai beranjak dari duduk, Acep mengajak menuju makam Eyang Dalem Cikundul dengan menaiki 170 anak tangga. Kini anak tangga tersebut sudah mengalami perbaikan dengan peneduh baja ringan dan lantai yang bersih terawat.
Acep mulai menceritakan sejarah Raden Aria Wiratanu Datar yang membuka kerajaan kecil dan sekarang menjadi Kabupaten Cianjur.
"Menurut cerita turun temurun, Raden Aria Wiratanu Datar merupakan anak dari Raden Aria Wangsa Goparan yang masih keturunan Raja Sunda Galuh Mundingsari alias Banjarsari," katanya membuka pembicaraan sambil terus melangkah. Eyang Dalem Cikundul dilahirkan sekitar tahun 1603 Masehi di Kampung Cibodas, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.
Pada usia delapan tahun ia dididik dan digembleng di paguron (perguruan) Islam kesultanan Cirebon dibawah pimpinan penerus Syeh Syarif Hidayatullah. Eyang Dalem Cikundul seorang siswa teladan dan paling menonjol di antara siswa-siswa lainnya serta menguasai bidang ajaran keagamaan, keperwiraan, dan ilmu kemasyarakatan.
"Tamat di perguruan tersebut ia mendapat gelar Aria, merupakan kerabat keraton dengan kedudukan 'Ngabehi' selaku punggawa kesultanan Cirebon dengan nama khusus Ngabehi Jaya Sasana," katanya.
Lalu pada usia 23 tahun ia mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi senopati kesultanan Cirebon sehingga mendapat gelar Raden Aria Wiratanu. "Ia lalu diberi prajurit sebanyak 300 Umpi (1.200 jiwa) dari kesultanan Cirebon," kata Acep.
Lalu setelah itu Eyang Dalem Cikundul mendapat tugas dari penerus Syeh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan kecil di wilayah kosong bekas wilayah Pajajaran.
Acep mengatakan sebelum mendirikan Kabupaten Cianjur ia sering berdzikir di kawasan Sagalaherang, Subang. Saat berangkat ia hanya diberi petunjuk untuk mendirikan kerajaan di kawasan selatan sebelah barat.
Petunjuk lainnya adalah wilayah yang harus dijadikan kerajaan itu sering dijadikan tempat mandi hewan badak berwarna putih. "Kini sumur tempat mandi hewan badak putih masih ada di dekat pegadaian," katanya.
Acep melanjutkan ceritanya, setelah mendapat petunjuk tersebut Eyang Dalem Cikundul akhirnya menemukan tempat pemandian badak putih. Lalu ia membawa pasukan dan sekitar 500 keluarga ke tempat tersebut.
Baca: Sebelum Meninggal, Razan Najjar Sempat Nekat dan Berani: hingga Detik Terakhir Saya Tetap di Sini
Dalam perjalanan membawa pasukan, ada beberapa nama yang hingga kini masih dipakai nama wilayah di Cianjur, di antaranya Muka yang berarti Eyang Dalem Cikundul bersama pasukannya mulai membuka wilayah Cianjur, Rancabali saat menemukan kawasan rawa lalu pasukan balik lagi, Sayang Heulang di mana pepohonan tinggi dan banyak tempat burung Elang menetap, Salakopi dimana para pasukannya bersama keluarga memetik biji kopi sebagai perbekalan, dan pamoyanan tempat berjemur.
Sekitar tahun 1691-1692 Masehi berdirilah secara resmi negeri Kerajaan Cianjur yang merdeka dan berdaulat penuh, dipimpin Raden Aria Wiratanu Datar. Ia diberi tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor.
Memasuki usia lanjut kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama raden Aria Wiramanggala yang bergelar Raden Aria Wiratanu Datar Tarikolot. Di masa usia lanjutnya Eyang Dalem Cikundul berangkat menuju arah Utara lalu mendirikan perguruan Islam di wilayah Cikalongkulon.
Tahun 1692-1695 Masehi Eyang Dalem Cikundul tutup usia dan kemudian disemayamkan di bukit pasir Gajah, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon.
"Ada ciri-ciri yang saya dengar tentang Eyang Dalem Cikundul, sejak kecil sekitar umur tiga tahun ia mempunyai kegemaran naik ke atas bukit dan menghadap ke arah kiblat seolah-olah merenung dengan mata yang menerawang. Gaung suaranya sangat terkenal sekalipun berbisik maka dapat didengar oleh orang yang dipanggil," katanya.
Acep menutup cerita dengan kisah Eyang Dalem Cikundul yang sempat beristri bangsa Jin saat bertafakur di Sagala Herang selama 40 hari.
"Eyang diperistri Nyai Tina Dewisrina yang merupakan wujud dari tiga Jin bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari putri dari Raja Jin Islam Syeh Zubaedi di negeri Batu Agung, Tengger Agung, Sagala Herang, Subang," katanya.
Dari Nyai Tina Dewisrina Eyang Dalem Cikundul mendapat tiga putera yakni Raden Suryakencana yang dititipkan di Gunung Gede, Raden Sukaesih Carancang Kancana yang dititipkan di Gunung Ciremai, dan Raden Andaka Wirusajagat yang dititipkan di Gunung Kumbang, Karawang.
"Untuk menghormati Raden Suryakencana dari Gunung Gede hingga saat ini sering digelar kuda kosong jika masuk ke hari jadi Cianjur. Ia dikenal sebagai penjaga Kabupaten Cianjur.
Tak heran meski kudanya kosong tapi selalu terlihat kelelahan, beberapa keturunan Eyang saja yang masih bisa menghadirkan Raden Suryakencana yang masih keturunan Jin Islam," katanya.(fam)
Sambut Malam Lailatul Qadar, Keraton Solo Akan Kirab 1.000 Tumpeng https://t.co/yzWwgBVeUH via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) June 3, 2018