Nurtanio, Perintis Industri Penerbangan Tanah Air, Pernah Merasa Tertipu dan Lari dari Asrama

Di sanalah Nurtanio dan Wiweko mencurahkan pikiran, tenaga, dan angan-angan untuk membangun penerbangan nasional.

netz/Intisari
Nurtanio Pringgoadisuryo 

TRIBUNJABAR.ID– Kisah ini tentang Nurtanio, soal ia merintis industri penerbangan di negeri ini. 

“Sudah! Kita tidak usah ikut ribut-ribut. Kita bekerja saja,” ucap Marsekal Pertama TNI Nurtanio Pringgoadisuryo memberi pengarahan kepada staf-stafnya dalam sebuah rapat rutin pada bulan-bulan awal tahun 1965. 

Waktu itu, suasananya hiruk-pikuk pernyataan politik dalam iklim politik yang sudah mulai panas. 

Ada unsur menentang arus dalam pernyataannya, sekali pun bagi Nurtanio tak ada pilihan lain.

Ia sibuk dengan proyek Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) yang didirikan dengan modal beberapa mesin tua sebelum Perang Dunia II. 

Baca: Pulang Umrah, Revalina S Temat Putuskan untuk Berhijab, Begini Awal Mulanya

Selain sibuk dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),  Nurtanio disibukkan tugas-tugas di Dewan Penerbangan Republik Indonesia (DEPANRI) dan Komando Pelaksana Pembangunan Industri Penerbangan (KOPELAPIP). 

Ada lagi kesibukannya,yakni beban tugas beberapa kelompok kerja di Markas Besar TNI AU. Oh ya, ia juga menjadi anggota Dewan Perancang Pembangunan Nasional (DEPERNAS). 

Diinginkan jadi petani 

Tubuhnya tidak setinggi cita-citanya. Ia pendiam tapi orang akan segera tertarik melihat penampilannya: di leher bajunya terpasang lambang korp teknik pesawat terbang tapi di dadanya ada wing penerbang. Itulah Nurtanio Pringgoadisuryo. 

Ketika ia dilahirkan di Kandangan (Kalimantan) pada 3 Desember 1923, Nugroho Pringgoadisuryo yang asal Semarang mengharapkan putra ketiga dari 12 bersaudara ini bekerja di bidang pertanian. 

“Nur,” kata Nugroho –nama-nama putra-putranya diawali dengan “Nur”-“Tanio” (bahasa Jawa: bertanilah). Jadilah nama putranya Nurtanio. Namun minat anak ini berkembang ke arah lain. Tidak ada perhatiannya ke pertanian. 

Setelah menyelesaikan Europeesch Lagere School (ELS) di Semarang, Nurtanio diarahkan ke MULO. Lepas MULO diusahakan memasuki pendidikan MOSVIA untuk menjadi pamong praja. 

Diterima tapi Nurtanio menolak karena tidak sesuai dengan harapannya. Ia melanjutkan ke AMS. Di sini pula mulai kelihatan minatnya yang lebih cenderung ke seluk-beluk teknik, seperti juga ayahnya yang pejabat Dinas Pekerjaan Umum. Lebih khusus lagi, ia tertarik ke teknik penerbangan. 

Keluarga Nugroho rupanya sudah menanamkan minat baca sejak dini dan menyediakan beragam bacaan untuk anak-anaknya. 

Halaman
1234
Sumber: Intisari
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved