Bayi Debora Meninggal

Fakta Meninggalnya Bayi Debora, dari Lahir Prematur sampai Jenazah Dibawa Pulang Naik Motor

Henny panik karena bayinya sesak napas, tanpa pikir panjang Henny langsung membangunkan suaminya.

Editor: Ravianto
wartakotalive.com
Henny Silalahi kehilangan bayinya, Tiara Debora yang meninggal saat dirawat di rumah sakit. Debora seharusnya dirawat di PICU tapi karena uang muka kurang, Debora keburu meninggal sebelum mendapatkan perawatan. 

TRIBUNJABAR.CO.ID, TANGERANG - Pemberitaan tengah dengan adanya kisah pilu seorang bayi bernama Tiara Debora yang meninggal di rumah sakit pada Minggu (3/9/2017).

Pasalnya, Debora meninggal di Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, lantaran orangtuanya tidak bisa membayar uang muka rumah sakit untuk merawat Debora.

Tentunya, kisah ini menjadi perhatian seluruh masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh RS Mitra Keluarga ini.

Berikut tim TribunWow.com himpun fakta-fakta terkait peristiwa memilukan ini.

1. Kronologi kejadian

Melansir dari Kompas.com, pasangan suami istri Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang ditemui di rumah mereka di Jalan H Jaung, Benda, Tangerang, menceritakan betapa menyesalnya mereka memercayakan nyawa Debora kepada pihak RS Mitra Keluarga Kalideres.

"Sebenarnya bayi saya sudah seminggu pilek terus, terus tiga hari sebelum meninggal, batuk-batuk," kata Henny, Sabtu (9/9/2017).

Sebelumnya, Henny sempat membawa Debora ke RSUD Cengkareng untuk diperiksa.

Di sana, Debora diberi obat dan nebulizer untuk mengobati pilek Debora.

Kemudian pada Sabtu malam, Debora terus mengelurkan keringat dan membuat Henny tidak bisa tidur hingga masuk hari Minggu untuk mengganti alas tidur Debora.

Hingga pukul 03.00 WIB pagi, Henny panik karena bayinya sesak napas, tanpa pikir panjang Henny langsung membangunkan suaminya.

Sang suami pun langsung menyalakan motor dan mereka datang ke rumah sakit terdekat dari rumah mereka yaitu RS Mitra Keluarga Kalideres.

"Tujuan saya cuma nyelametin anak saya, paling dekat ya Mitra Keluarga," kata Henny. Sampai di sana, petugas keamanan langsung membantu Henny membawa Debora ke ruang instalasi gawat darurat (IGD).

Dokter jaga saat itu, Irene Arthadinanty Indrajaya, langsung melakukan pertolongan pertama dengan melakukan penyedotan (suction).

Saat itu Debora langsung dipasangi berbagai macam alat monitor, infus, uap, dan juga diberikan obat-obatan.

Pukul 03.30 WIB, Debora sudah bernapas dan menangis kencang.

"Saya pikir sembuh nih, terus saya dipanggil dokter Irene, dia bilang ini harus masuk pediatric intensive care unit (PICU) karena sudah empat bulan usianya, tetapi dia bilang di sini enggak terima BPJS," kata Henny.

Rudianto dan Henny pun langsung mengurus administrasi agar anak mereka bisa dirawat di ruang PICU.

Rudianto bercerita, ia menghadap bagian administrasi dan disodori semacam daftar harga. Uang muka untuk pelayanan itu Rp 19.800.000.

"Saya bilang saya enggak bawa duit sama sekali, cuma bawa kunci sama duit di kantong celana untuk tidur, tetapi mereka bilang harus bayar DP (uang muka)," kata Rudianto.

Rudianto pun langsung kembali ke rumah untuk mengambil dompet dan menarik semua uang di ATM yang dimilikinya dan mencairkan sekitar Rp 5 juta.

Namun, karena uang yang tidak cukup, petugas administrasi pun mengambil uang tersebut dan menghubungi atasannya.

Rudianto tak tahu pembicaraan pihak administrasi tersebut. Ia kemudian dipanggil lagi dan uangnya dikembalikan. Petugas menyampaikan bahwa karena uang kurang, anaknya tak bisa masuk PICU.

"Di situ saya memohon-mohon sangat, saya bilang nanti siang saya bayar kekurangannya, saya punya saudara kan bisa diusahakan. Petugas hanya bilang enggak bisa, ini sudah kebijakan dari manajemen," kata Rudianto.

Akhirnya, oleh dokter, Rudianto dan Henny dibuatkan surat rujukan ke rumah sakit lain yang memiliki PICU dan menerima BPJS Kesehatan.

Semua rumah sakit diteleponnya, mulai dari Hermina, Siloam, RSCM, Harapan Kita, Awal Bros, tetapi tak ada satu pun ruang PICU yang kosong.

Henny juga mengunggah status di Facebook dan menghubungi teman-temannya untuk minta dicarikan rumah sakit.

Ia juga menghubungi atasannya untuk meminjam uang agar anaknya bisa dimasukan ke PICU RS Mitra Keluarga Kalideres.

"Saya ngadep dokter lagi, dokternya ganti dokter Irfan, saya bilang saya sudah nyari enggak ada yang kosong, saya bilang saya kerja, punya uang, nanti siang saya lunasi, sambil nunggu anak saya dapat rumah sakit, kenapa tidak ditangani di PICU dengan uang Rp 5 juta, saya sudah memohon-mohon," tutur Henny.

Baca: Silkeu Puding, Produk Lokal Bandung yang Masih Kesulitan Dalam Promosi

Baca: Mau Daftar CPNS? Wajib Baca Ini! Trik dan Soal Latihan Agar Lolos Tes Kompetensi Dasar

Meski begitu, dokter, perawat, dan petugas administrasi masih saja menolak serta meminta uang dilunasi dulu sebesar Rp 11 juta.

Henny mengatakan, dokter saat itu sempat menyebut tarif perawatan di ruang PICU semalam mencapai Rp 20 juta.

Sekitar pukul 09.00, Henny dihubungi temannya yang mengabarkan ada ketersediaan ruang PICU di RS Koja.

Henny pun langsung menyambungkan dokter anak di RS Koja dengan dokter Irfan. Dokter Irfan menyampaikan di telepon bahwa Debora kondisinya sudah stabil, pasokan oksigen lancar, dan layak untuk ditransportasikan.

Namun, telepon tiba-tiba terhenti saat suster yang menjaga Debora datang dengan muka panik. Sambungan telepon diputus dan dokter Irfan langsung menangani Debora.

"Feeling saya di situ udah enggak enak, lima menit, saya dipanggil masuk, saya lihat anak saya sudah pucat, matanya sudah ke atas," kata Henny.

Baca: Wanita Ini Temukan Hal Menjijikan di Dalam Cokelat Premium yang Telah Ia Makan

Baca: Pengunjung Bandung Great Sale Bernostalgia dengan Jajanan Jadul

Kondisi Debora kritis dan ia pun menghembuskan napas terakhirnya.

Dokter dan suster pun menyerah. Mereka langsung pergi meninggalkan Debora. Suster hanya berkata mereka turut berduka cita.

Henny dan suaminya pun hanya bisa menangisi kepergian Debora sembari melihat satu per satu peralatan dilepas dari tubuh bayi mungil itu.

Henny sempat berbicara kepada suster. Ia menanyakan penyebab anaknya meninggal. Ia hanya mendapat penjelasan bahwa anaknya seharusnya dirawat di ruang PICU.

Tanpa banyak berkata-kata, Rudianto dan Henny mengurus administrasi rumah sakit serta surat kematian.

Ia membayar Rp 6 juta lebih atas perawatan di IGD. Ia pun meminta surat kematian yang tak menjelaskan apa pun penyebab kematian Debora.

"Saya bilang, ini saya punya kewajiban saya tetap bayar, saya enggak lari meskipun anak saya sudah meninggal," ujar Henny.

Ia kemudian membawa pulang anaknya dan menguburkan anak kelimanya itu untuk selamanya.

2. Kekecewaan sang ayah yang sosoknya dikenal pekerja keras

Melansir dari Tribunnews.com, Rudianto sangat terpukul dengan kehilangan buah hatinya tersebut.

"Bayi saya harus masuk ruang PICU untuk perawatan. Tapi tidak mendapatkan pelayanan itu, karena uang saya tidak cukup membayarnya," ungkap Rudianto saat ditemui.

Rudianto menceritakan kisah pilunya ini saat ditemui di kediamannya, Jalan Husein Sastranegara, RT 02/01, Kampung Baru, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, Sabtu (9/9/2017).

Kedua orangtua bayi Debora memang dari kalangan tak berada.

Bahkan mereka mengontrak rumah sebagai tempat tinggal.

Kejadian nahas ini pun mendapatkan tanggapan dari Dahlia sang pemilik kontrakan.

"Memang kasihan, cuma karena enggak punya uang, enggak dapat pelayanan. Mereka mengontrak di sini sudah satu tahun lebih," ucapnya.

Dahlia pun mengungkapkan bahwa kedua orangtua Dahlia ini sangat baik dan pekerja keras.

Sedari pagi hingga malam, Rudianto banting tulang untuk menghidupi keluarga.

"Ayahnya Debora kerjaannya tukang galon isi ulang. Suka ngantar galon ke rumah-rumah," katanya.

Indra, paman Debora pun juga sangat kecewa terhadap pelayanan RS Mitra Keluarga Kalideres.

Padahal diketahui, orangtua Debora sudah berusaha ke sana ke mari untuk mencari uang pinjaman agar pihak rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang baik untuk Debora.

"Bapaknya keponakan saya ini sudah ke mana-mana itu naik motor bututnya cari pinjaman. Motor butut Legenda ini memang biasa digunakannya untuk mengantar galon, tapi dia berhenti kerja dulu demi perawatan anaknya," papar Indra.

3. Tangis histeris sang ibu saat tak mampu bayar ruang perawatan

Kembali melansir dari Tribunnews.com, pasangan ini tinggal di rumah kontrakan yang berukuran kecil dan hanya memiliki tiga ruangan saja.

Tampak terparkir sepeda motor butut milik Rudianto di depan rumah.

Henny dan Rudianto, orangtua Debora (4 bulan) yang meninggal karena kesulitan membayar administrasi pelayanan di rumah sakit.
Henny dan Rudianto, orangtua Debora (4 bulan) yang meninggal karena kesulitan membayar administrasi pelayanan di rumah sakit. (WARTA KOTA/ANDIKA PANDUWINATA)

Henny yang mengenakan daster berwarna cokelat muda masih tampak murung di ruang tamu saat ditemui. Ia memegangi pakaian Debora dan menceritakan kepiluannya yang mendalam.

"Anak saya ini memang lahir prematur, ada masalah sama jantungnya. Sudah berobat dan perlahan-lahan keadaanya membaik," ujar Henny saat ditemui Warta Kota di kediamannya, Sabtu (9/9/2017).

Ia pun tidak bisa menahan tangisnya saat monitor jantung Debora menunjukkan garis lurus tak berkelok.

Saat itu, Henny dan suaminya hanya bisa memegangi tangan anak malang tersebut.

Ia menangis dan meminta Debora bertahan.

"Saya teriak, anak saya kedinginan dan tubuhnya pucat. Di situ saya menjerit. Dek, jangan pergi, tolong kamu bertahan, jangan menyerah," kata Henny.

4. Orangtua Debora tidak menuntut kompensasi RS Mitra Keluarga, ini harapannya

Masih melansir dari Tribunnews.com, Rudianto tidak akan menggugat pihak RS Mitra Keluarga terkait meninggalnya bayi mereka.

"Kalau nuntut saya rasa enggak, cuma berharap kejadian seperti ini enggak terulang sama anak-anak lain," kata Henny ditemui di rumahnya, Benda, Tangerang, Sabtu (9/9/2017).

5. Jenazah Debora dibawa pulang orangtuanya naik motor

Pascakejadian, Rudianto dan Henny memilih pulang dengan membawa jenazah bayi mereka dengan sepeda motor.

Mereka tidak ingin lagi berurusan dengan rumah sakit tersebut.

"Ketika suster datang buka OTG-nya dia dengan sombongnya bilang ini bagaimana jenazahnya? Prosedur jenazah harus pakai ambulans, minimal mobil tertutup," kata Henny saat ditemui di rumahnya, Sabtu (9/9/2017) dilansir dari Tribunnews.com.

Henny yang masih kalut meratapi putrinya itu hanya diam ketika ditanya suster.

Saat itu, sahabat Henny yang mendampingi menyampaikan kekesalannya kepada sang suster.

"Sahabat saya bilang, 'Enggak usah ngomongin prosedur! Kalau prosedur mestinya nyawa anak ini diduluin daripada duit'," ucap Henny.

Bahkan, pihak rumah sakit sempat bersikeras agar jenazah Debora dibawa dengan ambulans.

Mereka mengingatkan Henny dan suaminya akan kemungkinan adanya razia di jalan.

Namun, saat itu Henny bersikeras membawa pulang jenazah bayinya dengan sepeda motor.

Ia pun meminta suster segera melepas peralatan medis dari tubuh anaknya.

Saat itu, pasutri yang masih mengenakan baju tidur dan tanpa alas kaki, bergegas membawa jenazah Debora ke ruma mereka untuk dimakamkan.

Kekesalan pasutri ini tak berhenti sampai di situ, pasalnya, seorang suster sempat menghampiri mereka dan mengatakan bahwa selimut yang membungkus tubuh bayi tidak bisa dibawa pergi.

Dengan kesal, Henny melempar selimut itu dan tancap gas membawa Debora pulang.

"Di jalan saya masih berharap Debora tiba-tiba bangun, bahkan sampai di peti mati saya tunggu, tapi ternyata enggak ada tanda-tanda. Bayi saya mati hanya karena urusan Rp 6 juta yang enggak bisa dibayar saat itu juga," ujarnya. (TribunWow.com/Natalia Bulan Retno Palupi)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved