Korupsi KTP Elektronik

Pemuda Muhammadiyah Berharap Hakim Jatuhkan Vonis Berat Terhadap Miryam

Anggota DPR RI, Miryam S Haryani, didakwa memberikan keterangan palsu di pengadilan.

Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Politikus Hanuran Miryam S Haryani tiba di gedung KPK Jakarta untuk menjalani pemeriksaan, Jumat (12/5/2017). Miryam diperiksa sebagai tersangka pertama kali pasca penahanan terkait kasus pemberian keterangan tidak benar dalam sidang perkara dugaan korupsi KTP elektronik. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNJABAR.CO.ID, JAKARTA - Pimpinan Pemuda Muhammadiyah memuji keputusan Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta menolak seluruh keberatan yang disampaikan terdakwa Miryam S Haryani dan pengacaranya.

Dengan demikian, persidangan terhadap Miryam berlanjut ke tahap pemeriksaan saksi.

"Tentu mengapresiasi Majelis hakim yang menolak keberatan Miryam," ujar Direktur Madrasah Anti Korupsi PP Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto Gohardi kepada Tribunnews.com, Senin (7/8/2017).

Karena kasus Miryam ini, menurut Virgo, bukan kasus baru.


Apalagi kasus pemberian keterangan palsu sebelumnya telah pernah disidangkan dalam pengadilan Tipikor.

Ia berharap di akhir persidangan nanti, Majelis hakim dapat memberikan hukuman tegas dan berat, terhadap Miryam.

Hal ini penting menurutnya, agar upaya menghalangi proses hukum kasus korupsi dengan memberikan keterangan palsu dapat menjadi pelajaran bagi pihak pihak yang terlibat dalam proses hukum kasus korupsi, agar tidak bermain main dengan hal tersebut.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor berwenang mengadili dan memutus perkara terhadap terdakwa Miryam S Haryani.

Hakim menetapkan bahwa persidangan berlanjut pada pemeriksaan perkara.

Melalui eksepsi, penasehat hukum Miryam menilai bahwa kasus keterangan palsu yang didakwakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya diperiksa dan diadili di pengadilan umum, bukan pengadilan tipikor.

Namun, menurut hakim, pensehat hukum telah melakukan penafsiran sendiri.

Menurut hakim, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada intinya untuk melindungi kepentingan hukum dalam kelancaran pengungkapan kasus korupsi.

Dengan demikian, keberatan penasehat hukum dianggap tidak mempunyai alasan hukum sah dan harus ditolak.

Selain itu, dalam eksepsi penasehat hukum juga menilai dakwaan jaksa KPK tidak sah.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved