Gerhana Matahari Total 2016

Kacamata Raksasa anti-UV Buatan Imah Noong Dipakai Menonton GMT di Belitung

Wisatawan Jepang, Malaysia, Tiongkok, Prancis dan negara Eropa sampai rela antre untuk mendekat ke kacamata jumbo

Penulis: Ichsan | Editor: Machmud Mubarok
TRIBUN JABAR/ICHSAN
ILUSTRASI - Seorang warga melihat angkasa melalui teleskop di Imah Noong di Kampung Areng, Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (07/03/2016). 

JAKARTA, TRIBUNJABAR.CO.ID - Momen Gerhana Matahari Total (GMT) yang melewati 12 provinsi di Indonesia mendorong sejumlah daerah untuk kreatif. Salah satunya kehadiran kacamata khusus untuk meneropong GMT yang dipasang di Pantai Terentang, Bangka.

Yang unik dari kacamata khusus yang dilapisi filter anti-UV itu adalah ukurannya yang raksasa. Kacamata ini berukuran panjang 960 sentimeter dan lebar 60 sentimeter. Karena itulah, Museum Rekor Indonesia (MURI) akan mencatat ide kreatif ini dalam rekor baru.

Ide gila ini berasal dari Komunitas Astronomi 'Imah Noong' yang notabene merupakan sekumpulan warga Kampung Areng Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Jawa Barat. Ukurannya jumbo. Dengan menggunakan satu bingkai, kacamata ini tetap didesain memiliki sembilan lubang. Dijamin aman, karena di setiap lubang dipasangi filter berbahan black
polimer neutral density (ND)-5.

“Kacamatanya benar-benar jumbo. Kalau dibentangkan, kacamata raksasa ini bisa dipakai bersama-sama oleh 45 orang sekaligus. Sekarang kacamatanya sudah ada di Pantai Terentang, Bangka. Tinggal nunggu dipasang filternya," ujar Kepala Dinas Pariwisata Bangka Belitung, Tajuddin, dalam rilisnya, Senin (7/2).

Kacamata tak lazim itu ternyata sukses memikat minat wisawatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pantai Terentang. Wisatawan Jepang, Malaysia, Tiongkok, Prancis dan negara Eropa sampai rela antre untuk mendekat ke kacamata jumbo.  Tidak sedikit dari mereka yang membubuhi tandatangannya. Sebagian lainnya, memilih berselfie di
kacamata tersebut.

“Dari keterangan Komunitas Astronomi 'Imah Noong', pembuatan kacamata ini menghabiskan biaya sekitar Rp60 juta. Yang mahal bingkai kacamatanya yang menggunakan bahan akrilik. Filternya juga nggak murah karena bahannya mencapai Rp15 juta,” tambah Tajuddin.

Kreativitas yang muncul ini, menurut Menpar Arief Yahya, karena Indonesia sudah berada di pintu "cultural industry" atau "creative industry." Indonesia, lanjut Arief, sudah melewati tiga gelombang, yang disebut Alfin Tofler dalam buku The Third Wave, yakni, gelombang agriculture, lalu manufacture, dan information technology. "Ke depan, kita akan memasuki era baru, era creative industry, era world community," ujar Arief di Jakarta.

Dari paparan Tajuddin, saat ini Komunitas Astronomi 'Imah Noong' tengah mengupayakan agar kacamata matahari terbesar ini tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Hal yang sangat wajar mengingat sampai saat ini belum pernah ada seorang pun yang pernah membuat kacamata sebesar itu. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved