Kasus Proyek Meikarta

Terdakwa Kasus Meikarta Berharap Ada Perbaikan Sistem Supaya ASN Tidak Minta Uang

Keterangan Fitra terkait pengambilan kewenangan gubernur oleh Menteri ATR itu tidak terungkap selama persidangan kasus Meikarta.

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Seli Andina Miranti
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin tiba di Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (15/10/2018) malam. Neneng Hasanah Yasin menjalani pemeriksaan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka bersama 8 tersangka lainnya terkait OTT di Kabupaten Bekasi yakni suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna

TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG - Terdakwa kasus suap perizinan proyek Meikarta, Fitradjaja Purnama berharap pembenahan sistem yang bisa memengaruhi integritas para penyelenggara negara.

Ia mengakui bersalah terlibat dalam pemberian uang suap kepada sejumlah ASN Pemkab Bekasi untuk memuluskan perizinan.

"Saya menyesali perbuatan saya dan mengakui kesalahan saya. Tapi di lain hal, saya berharap ada pembenahan sistem," ujar Fitradjaja belum lama ini.


Menurutnya, kasus suap itu tidak akan terjadi manakala tidak ada permintaan uang dari setiap pengurusan perizinan. Di lain hal, ia juga tidak menolak atau melaporkan permintaan uang tersebut.

"Di awal tidak ada permintaan uang tapi di akhir, saat dokumen sudah jadi, semuanya minta‎. Padahal sejak awal saya membantu pengurusan izin ini, tidak terpikir untuk memakai uang. Tapi saya akui juga, saya tidak berupaya untuk menolak atau menghentikan itu," ujarnya.

Ia merinci apa yang dia maksud sebagai pembenahan sistem. Fitradjaja, Taryudi, dan Henry Jasmen mulai terlibat pengurusan izin usai Izin pengolahan dan penggunaan tanah (IPPT) sudah terbit.

Cekcok Rumah Tangga, Pria Ini Tega Tusuk Istri dan Anak yang Masih Bayi dengan Pisau Dapur

Ia mengurus perizinan IMB, sarana teknis, alat proteksi pemadam kebakaran, lingkungan, pengurusan Revisi Raperda RTRW hingga rekoendasi dengan catatan.

"Contoh nih, soal RDTR itu kan butuh izin substansi dari Gubernur Jabar kalau berdasarkan Perda Bodekarpur. Pada saat saya urus itu, dan prosesnya sudah mau selesai, terbit keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang yang mencabut kewenangan gubernur menandatangani persetujuan substansi. Itu sebagai gambaran betapa rumitnya sistem yang sudah dibuat," ujar Fitra.

Keterangan Fitra terkait pengambilan kewenangan gubernur oleh Menteri ATR itu tidak terungkap selama persidangan kasus Meikarta.

Revisi Raperda RTRW yang di dalamnya terlampir dokumen RDTR mengakomodir kepentingan Meikarta. Hingga kasus ini bergulir, persetujuan substansi gubernur terkait RDTR itu tak kunjung selesai.

Persib Bandung vs Arema FC, Hamka Tak Masalah Teror Bobotoh Asal Dalam Batas Wajar

"Itu alasan kenapa persetujuan gubernur ini tak selesai. Mungkin nanti diungkap di persidangan Bupati Bekasi," ujar Fitra.

Menurutnya, persetujuan substansi itu penting karena pengurusan izin IMB dan lain sebagainya di Pemkab Bekasi, membutuhkan persetujuan gubernur itu.

"Persetujuan substansi gubernur terkait Revisi Raperda RTRW ini kunci untuk mengurus perizinan lainnya. Sama halnya seperti rekomendasi dengan catatan (RDC), itu satu lembar kertas, tapi jika tidak ada RDC, berapa dokuman yang tidak bisa diurus," katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved