Saat Anak-anak Mengkritik dan Ingin Menggantikan Presiden Soeharto
"Pernahkah bapak tertembak. Saya ingin mendengarkan cerita pertempuran yang bapak alami," tulisnya.
Penulis: Mega Nugraha | Editor: Yudha Maulana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG - H.M Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang menjabat selama 32 tahun, dikesankan sebagai sosok yang otoriter saat era reformasi. Di zamannya selama berkuasa, tidak sembarangan orang berani mengkritiknya.
Namun, di luar kesan yang melekat selama ini pada sosok yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan ini, rupanya, banyak anak-anak sekolah yang berani mengkritiknya lewat surat.
Surat-surat dari anak-anak usia SD hingga SMA itu ditulis dalam kurun waktu 1984-1985 dan dikirimkan via pos dan diterima Soeharto. Kemudian dibukukan oleh Tim Dokumentasi Presiden RI, berjudul Anak Indonesia dan Pak Harto.
Baca: Lucinta Luna Peluk Ayu Ting Ting, Raffi Ahmad Malah Ikutan, Ekspresi Ayu Bikin Ngakak
Buku terbitan 1991 itu disunting dan disusun oleh G Dwipayana dan S Sinansari Ecip. Selama kurun waktu lima tahun itu, lebih dari 43 ribu surat dari anak-anak diterima oleh Soeharto.
Ada 143 surat dari anak-anak sekolah yang dibukukan dalam buku itu. Isi surat tersebut tak hanya sekedar curhat, saran bahkan soal kurikulum pendidikan tertulis di sana.
Seperi dalam surat Leony Agustina dari Kediri, Jawa Timur pada Juni 1985.
Baca: Wow, Kualitas Rumput di Stadion Jakabaring Bisa Dibilang Paling Yahud, Ini Buktinya
Saat itu, ia duduk di bangku SMA tahun ajaran 1984/1985. Saat itu, kebijakan pendidikan mulai memberlakukan sistem kredit semester. Menurutnya, sistem itu membingungkan siswa.
"Saya tahu sistem itu dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof Dr Nugroho Notosusanto. Setelah itu, timbul dalam benak saya, apakah setiap ganti menteri selalu ganti kurikulum. Dengan pertanyaan ini saya ingin jawaban tepat dari Bapak Presiden Sendiri," tulis Leony dalam suratnya.
Ia juga mengkritik Soeharto soal bahasa pidato yang kerap disampaikan.
"Saya ingin sedikit mengkritik bapak dalam soal membacakan teks sidang paripurna, yaitu dalam membacakan kata 'kan'. Cara bapak membaca bukan 'kan' tapi 'ken'. Kemudian enam dibaca anem. Menurut saya itu ejaan lama, tapi setidaknya bapak yang dicintai dan dihormati ikut menggunakan Bahasa Indonesia yang benar, bapak mau mengubahnya menjadi kata yang telah ditetapkan oleh EYD," kata Leony.
Baca: Miris! Damkar Sumedang Hanya Miliki Empat Jaket Keselamatan, Semuanya Tak Layak Pakai
Surat dengan kalimat penutup yang lucu juga dituliskan oleh Fenty Evi Lani Syofina, asal Jambi pada Agustus 1985. Dalam suratnya, ia memuji buat ibu negara yang akrab disapa Ibu Tien.