Utang Kereta Cepat Whoosh Buah Proyek Ambisi Jokowi Dikuliti Mahfud MD & Rocky Gerung, Duga Mark Up
Polemik utang kereta cepat Whoosh yang disebut proyek ambisi Jokowi, Presiden RI ke-7 disoroti Mahfud MD dan Rocky Gerung kompak dugaan mark up.
TRIBUNJABAR.ID - Belakangan ini Presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi kembali menjadi sorotan setelah namanya terseret dalam polemik utang jumbo pembangunan kereta cepat Whoosh.
Tak sedikit berbagai pihak termasuk beberapa orang yang pernah dan kini terkait dalam proyek kereta cepat Whoosh itu mulai angkat bicara dan menyorotinya.
Satu di antaranya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang blak-blakan mengaku tak akan membayar utang kereta cepat Whoosh tersebut dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Selain itu, polemik utang pembangunan kereta cepat Whoosh itu juga mendapat sorotan tajam dari dua tokoh, pakar hukum tata negara Mahfud MD dan pengamat politik dan negara Rocky Gerung.
Keduanya kompak bicara soal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang kini mengemuka karena utang jumbonya senilai Rp 116 triliun.
Baca juga: Reaksi Jokowi Ditanya Soal Menkeu Purbaya Tak Mau Bayar Utang Jumbo Kereta Cepat Whoosh Pakai APBN
Keduanya sama-sama menguliti adanya campur tangan Presiden ke-7 RI Jokowi pada proyek ambisi yang bernama Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) itu.
Mereka menduga adanya dugaan mark up hingga mengakibatkan besarnya biaya proyek dan berpotensi menjadi perkara pidana.
Mahfud MD yang seorang mantan Menko Polhukam era Presiden ke-7 RI Jokowi bercerita soal dinamika saat proyek tersebut diinisiasi.
Sementara Rocky mengulik adanya pintu masuk pidana menyasar Jokowi pada polemik Whoosh.
Seperti diketahui, proyek ambisius Whoosh digarap pada pemerintahan Jokowi.
Melalui cap proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016, proyek yang didanai sebagian besar menggunakan utang dari China Developement Bank (CDB) itu dikebut.
Ayah Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka itu juga yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016, dan meresmikannya pada 2 Oktober 2023.
Sampai pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh sebanyak 16 ribu sampai 18 ribu orang per hari pada hari kerja, dan 18 ribu sampai 22 ribu per hari pada akhir pekan.
Angka tersebut belum menyentuh target 31 ribu penumpang per hari yang dicanangkan sejak awal.
Proyek KCIC mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
PSBI sendiri merupakan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, konsorsium sejumlah BUMN pada proyek KCIC.
Whoosh, yang notabene merupakan program yang dibangga-banggakan oleh Jokowi itu jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Karena menjadi lead konsosrium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
Baca juga: Reaksi Roy Suryo Soal Jokowi Disebut Alumni Kebanggaan UGM Hadir di Dies Natalis Fakultas Kehutanan
Dugaan Mark Up Menurut Mahfud MD
Mengutip Wartakota, Mahfud MD mengungkap adanya dugaan mark up pada proyek Whoosh. Ia menyampaikan sejumlah kesaksian terkait awal mula proyek itu digagas Jokowi.
Eks Menko Polhukam (2019-2024) itu menyoroti keterangan ekonom Agus Pambagyo dan Anthony Budiawan di salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu, yang akhirnya mengkonfirmasi apa yang dulu sudah didengarnya dan terberitakan sejak 5 tahun lalu.
"Apa-apa yang dulu sudah terberitakan atau 5 tahun lalu sudah terberitakan luas, sekarang dikonfirmasi langsung," kata Mahfud MD dalam channel YouTube Mahfud MD Official miliknya yang tayang, Selasa (14/10?2025) malam.
Awalnya Mahfud menyambut baik dan mendukung keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak membayar utang Whoosh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Purbaya menegaskan, tanggung jawab pembayaran berada di tangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), lembaga yang kini mengelola KCIC bersama sejumlah BUMN strategis.
"Saya mendukung Purbaya dalam hal ini. Jadi begini, ini masalahnya yang harus dicari secara hukum. Dulu pada awalnya, rencana kereta api cepat yang kemudian bernama Whoosh ini adalah perjanjian G2G, atau government to government, antara pemerintah Jepang dengan pemerintah Indonesia," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud saat itu disepakati, berdasarkan hitungan ahli dari UI dan UGM, proyek Whoosh bisa dibangun dengan bunga 0,1 persen dengan Jepang.
"Tiba-tiba sesudah Jepang minta kenaikan sedikit gitu, oleh pemerintah Indonesia dibatalkan. Di pindah ke Cina, dengan bunga 2 persen. Dengan overun pembengkakan kemudian menjadi 3,4 persen . Yang terjadi itu. Nah, sekarang kita gak mampu bayar," papar Mahfud.
Mahfud mengungkapkan ketika kerja sama dipindah dari Jepang ke Cina, Menteri Perhubungan saat itu Ignatius Jonan menyatakan tidak setuju.
Jonan, kata Mahfud mengatakan ke Presiden Jokowi bahwa perjanjian atau kesepakatan dengan Cina tidak visible atau tidak bisa dilihat keuntungannya.
"Pak,ini tidak visible, kata Pak Jonan. Pak Jonannya dipecat, digantikan. Sudah itu dia (Presiden Jokowi-Red) manggil ahli namanya Agus Pambagyo," ujar Mahfud.
Jokowi lalu menanyakan hal yang sama ke Agus Pambagio selaku pengamat ekonomi.
"Presiden manggil nih. Iya Pak Jokowi. Sesudah mecat Jonatan, dia tanya ke Agus. 'Pak Agus, gimana ini Pak?' Ini tidak visibel, rugi negara, menurut Agus," kata Mahfud.
Karenanya Agus Pambagio menanyakan ke Jokowi, ide siapa pembangunan kereta cepat yang kerja sama dengan Cina itu.
"Ini atas ide siapa? Kata Agus. Kok bisa pindah dari Jepang ke Cina itu dan biayanya besar? Atas ide saya, kata Jokowi. Kata Presiden: Atas ide saya sendiri gitu," papar Mahfud.
Lalu menurutnya Agus menjawab karena ide Presiden dan mau dijadikan kebijakan, maka Agus mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Dan pergi si Agus. Ternyata sekarang gak mampu bayar," ujar Mahfud.
Karenanya tambah Mahfud, keputusan Menkeu Purbaya yang enggan membayar utang proyek Whoosh adalah benar.
"Menurut saya benar Purbaya. Karena apa, Mas? Ini masalahnya sangat memberatkan bangsa. Kita membangun itu menghilangkan pembangunan-pembangunan untuk rakyat yang lain, kan hanya disedot untuk ini," ungkap Mahfud.
Mahfud menjelaskan jika pemerintah tidak mampu membayar maka kerjasama B2B itu bisa dipailitkan.
"Atau itu diserahkan ke Danantara. Tapi apa mau dibail out oleh negara terus terus-terusan. Nah, ini yang harus diteliti karena ada dugaan markup," ungkap Mahfud.
Ia menjelaskan dugaan mark-up yang dimaksud.
"Dugaan mark upnya gini. Itu harus diperiksa ini uang lari ke mana. Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per 1 km kereta Whoosh itu 52 juta US dolar. Tapi di Cina sendiri hitungannya hanya 17 sampai 18 juta US dolar. Jadi naik tiga kali lipat kan. Ini yang menaikkan siapa? Uangnya ke mana?" kata Mahfud,
Apalagi menurut Mahfud naiknya atau dugaan mark-up sampai 3 kali lipat.
"Nah, itu markup. Harus diteliti siapa dulu yang melakukan ini," kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan proyek Whoosh ini juga bisa mengancam masa depan dan kedaulatan bangsa dan rakyat, akibat utang yang sangat besar.
"Karena misalnya kita gagal bayar, itu kan berarti Cina harus mengambil, tapi kan gak mungkin ngambil barang di tengah kota. Pasti dia minta kompensasi ke samping misalnya Natuna Utara. Karena itu pernah terjadi ke Sri Lanka. Sri Lanka juga melakukan kayak gini ya. Membangun pelabuhan gak mampu bayar pelabuhannya diambil sampai sekarang oleh Cina" ujar Mahfud.
Sementara di Indonesia, kata Mahfud, Cina bisa meminta kompensasi menguasai Natuna Utara dan membangun pangkalan di sana selama 80 tahun.
"Nah, itu masalahnya. Jadi betul Pak Purbaya, Anda didukung oleh rakyat jangan bayar Whoosh dengan APBN. Kemudian carikan jalan keluar agar tidak disita karena pailit atau dikuasainya Natuna," ujarnya.
Mahfud mengatakan utang yang sangat besar dalam proyek Whoosh ini sangat aneh.
"Sangat aneh karena ini merupakan satu bisnis B2B, bisnis to bisnis, BUMN dan BUMN sana. Tetapi sekarang hutangnya bertambah terus. Bunga hutangnya saja setahun itu Rp 2 triliun. Bunga hutang saja. Sementara dari tiket hanya mendapat maksimal 1,5 triliun. Jadi setiap tahun bertambah kan, bunga berbunga terus, negara nomboki terus," ujarnya.
Menurut Mahfud kalau melihat terminnya, maka hal itu bisa terjadi sampai 70 atau 80 tahun, baru Indonesia melunasi utang Whoosh dari Cina.
Karenanya Mahfud mengusulkan selain Menkeu Purbaya mencari jalan lain membayar utang bukan dari APBN, maka negara harus menyelesaikan secara hukum.
"Negara harus menyelesaikan secara hukum. Hukum pidananya bisa ada, kalau itu betul mark up. Karena menurut Pak Agus ee Pak Antoni Budiawan di Cina itu harganya dulunya hanya disebutkan 17 sampai 18 US Dolar kok per kilometer. Sekarang jadi 53 juta US dolar. Nah, ini harus diselidiki. Kalau itu benar terjadi, maka itu pidana dan harus dicari. Tapi juga ada perdatanya nantinya," kata Mahfud.
Masalah perdata katanya berhubungan antara yang bersangkutan dengan uang negara.
"Tapi saya lebih cenderung selesaikan pidananya, agar bangsa ini tidak terbiasa membiarkan orang bersalah, ya sudah lewat kita maafkan. Itu kan selalu terjadi begitu dari waktu ke waktu. Padahal ini lebih gila lagi ini ya. Sehingga menurut saya, saya acungi jempol Pak Purbaya," ujarnya.
Baca juga: Roy Suryo dan Dokter Tifa Datangi Makam Keluarga Jokowi, Aksinya Dikecam Petinggi PSI: Memalukan!
Potensi Pidana Menurut Rocky Gerung
Sementara itu, Rocky Gerung menganggap dugaan mark up dilakukan Jokowi pada proyek Whoosh tak terhindarkan.
Sebab, peralihan kerjasama dari JICA (bersama Jepang) menjadi bersama China (KCIC) justru dinilai lebih mahal.
"Tetapi, ada hal yang hari-hari ini menjadi titik sorot pembicaraan, yaitu soal kereta api cepat, dan terlihat bahwa agak sulit Pak Jokowi untuk menghindar dari sebut saja tuduhan publik bahwa beliau melakukan mark-up," ujar pendiri wadah pemikir sekaligus lembaga riset isu-isu publik, Tumbuh Institute, di channel Youtubenya @RockyGerungOfficial_2024, tayang Sabtu (18/10/2025).
Proyek Whoosh sendiri awalnya digagas sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011, dengan Jepang sebagai mitra utama melalui JICA (Japan International Cooperation Agency).
Jepang telah melakukan studi kelayakan hingga menggelontorkan biaya sebesar 3,5 juta dollar AS, dan menawarkan pinjaman bunga rendah 0,1 persen dengan tenor 40 tahun, memakai skema Government-to-Government (G2G) dan biaya estimasi 5 hingga 6,2 miliar dollar AS.
Namun, pada 2015, Jokowi mendadak memilih China sebagai mitra untuk membangun Whoosh.
Alasannya, China menawarkan skema Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN, berbagi teknologi lebih luas, dan pinjaman sebesar 5 miliar dollar AS tanpa syarat ketat seperti Jepang, meski bunganya lebih tinggi, yakni 2 hingga 3,4 persen
Rocky Gerung juga menyebut, dari polemik Whoosh ini, Jokowi terlalu memaksakan proyek tanpa izin pada masyarakat Indonesia.
Hal ini dilihat dari urgensi Whoosh yang sebenarnya tidak terlalu mendesak, hingga akhirnya ketika terus berjalan, proyek tersebut justru membawa beban utang yang tidak kecil.
"Sudah bertahun-tahun dibahas, apa pentingnya kereta cepat itu untuk mempercepat pergerakan masyarakat dari Bandung ke Jakarta, atau sebaliknya, dalam skala yang cuma beda setengah jam," tutur Rocky.
"Bahkan, mereka yang berbisnis merasa lebih mending naik mobil saja. Jadi, ada kalkulasi yang salah, yang menyebabkan kereta itu jadi beban utang, kita mesti bayar utang ke China."
"Sekali lagi, sebetulnya kereta cepat ini akhirnya skandal, karena tidak dilakukan dengan kehati-hatian, hingga sekarang dia [Whoosh] rugi. Jadi, kerugian itu harusnya dianggap sebagai ketidakcermatan pembuatan kebijakan, yang juga bisa kesengajaan. Mark-up tanpa konsultasi dengan DPR misalnya, yang sifatnya Business to Business akhirnya negara terlibat kalau dia bangkrut,"papar Rocky.
Menurut Rocky, pantas jika dugaan mark up pada proyek Whoosh yang dikaitkan dengan Jokowi berpotensi menjadi perkara pidana .
"Jadi banyak faktor yang bisa menerangkan kenapa sekarang publik menganggap bahwa potensi Pak Jokowi dipidanakan itu sangat besar," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Dosa Jokowi Dikuliti, Rocky Gerung dan Mahfud MD Kompak Bicara Dugaan Mark Up Proyek Whoosh
| Siswa SMP Berutang Rp4 Juta karena Terjerat Judol dan Pinjol, Sudah Satu Bulan Bolos Sekolah |
|
|---|
| Reaksi Jokowi Ditanya Soal Menkeu Purbaya Tak Mau Bayar Utang Jumbo Kereta Cepat Whoosh Pakai APBN |
|
|---|
| Reaksi Roy Suryo Soal Jokowi Disebut Alumni Kebanggaan UGM Hadir di Dies Natalis Fakultas Kehutanan |
|
|---|
| Misteri Kematian Pelerai Keributan di Bandung Barat: Jenazah Korban Penganiayaan DC Diekshumasi |
|
|---|
| Siswa Ditampar Kepsek karena Rokok, Sikap Orangtua Disorot Dedi Mulyadi, Anak Salah Tetap Dibela |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/JOKOWI-SAKIT-KULIT.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.