Temuan Mengejutkan Ombudsman Soal MBG, Negara Kucurkan Anggaran Premium Namun Hasilnya Tak Sesuai

Persoalan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kian kompleks. Terbaru,  Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan.

Tribun Jabar/Gani Kurniawan
TEMUAN OMBUDSMAN - Foto ilustrasi sejumlah relawan menyiapkan paket makanan bergizi yang akan didistribuskan ke salah satu sekolah pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Baleendah Rancamanyar, Jalan Bojongsayang, Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (29/9/2025). Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan. 

TRIBUNJABAR.ID - Persoalan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kian kompleks.

Terbaru,  Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan.

Hal ini terkait dengan jumlah anggaran yang dibayar negara dengan harga premium, namun kualitas makanan yang diterima anak-anak justru jauh dari harapan.

Dugaan penyimpaangan ini mulai dari bahan pangan yang tak sesuai kontrak, proses pengolahan tanpa standar, hingga distribusi yang semrawut.

 Seluruh faktor ini menimbulkan tanda tanya besar soal tata kelola program MBG.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut sejumlah dapur umum atau Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.

Ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit (AQL) yang tegas.

Imbasnya, kualitas pangan yang sampai ke meja makan siswa tidak sepadan dengan nilai anggaran yang dikeluarkan negara. 

Baca juga: BREAKING NEWS: Siswi di Bandung Barat Meninggal Dunia, Gejala Mirip Keracunan

“Beberapa dapur juga menerima sayuran yang tidak segar setelah lauk pauk yang tidak lengkap,"

"Hal ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas, sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka saat konferensi pers, Selasa (30/9/2025) dilansir dari Kompas.com.

Sementara itu di tahap pengolahan, standar hazard analysis and critical control point (HACCP) juga belum diterapkan secara konsisten.

Beberapa SPPG bahkan tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sebagai syarat sistem pengendalian mutu.

Kelemahan semakin menjadi manakala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang semestinya melakukan 13 item pengawasan, dinilai belum maksimal. 

Hasilnya, 17 kasus keracunan luar biasa terjadi hingga Mei 2025.

“Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin,” kata Yeka. 

Sumber: Kompas
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved