Dedi Mulyadi Bongkar 2 Ciri Utama Kemiskinan di Jabar: Hawa Orang Miskin Lapar Terus

Menurut KDM, dua ciri utama yang ia temukan di lapangan adalah banyaknya anak dalam satu keluarga serta ketiadaan rumah yang layak huni.

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Priangan/Jaenal Abidin
BERI KETERANGAN - Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, memberikan keterangan. Bagi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kemiskinan tercermin bukan semata dari penghasilan yang minim, melainkan dari kondisi keluarga miskin yang tak mampu memiliki rumah layak. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bagi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kemiskinan tercermin bukan semata dari penghasilan yang minim, melainkan dari kondisi keluarga miskin yang tak mampu memiliki rumah layak.

Menurutnya, dua ciri utama yang ia temukan di lapangan adalah banyaknya anak dalam satu keluarga serta ketiadaan rumah yang layak huni.

“Saya ini tukang keliling. Kalau bicara kemiskinan, yang saya temukan pertama anaknya banyak, kedua tidak punya rumah,” kata Dedi di Gedung Sabuga ITB, Kota Bandung, Kamis (18/9/2025).

Baca juga: Minta Masyarakat Prioritaskan Rumah, Dedi Mulyadi: Jangan Dulu Kredit Motor kalau Belum Punya Rumah

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat per Maret 2025 mencapai 3,65 juta orang atau 7,02 persen dari total penduduk. 

Meski turun tipis 0,06 persen dibanding September 2024, kualitas kemiskinan justru memburuk. 

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,05 menjadi 1,17, sementara Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,24 menjadi 0,29.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat backlog perumahan di Indonesia turun menjadi 9,6 juta rumah tangga, dari sebelumnya 9,9 juta rumah tangga pada 2024. Khusus di Jawa Barat, masih terdapat sekitar 2,1 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah layak huni.

Dedi menuturkan, di sejumlah rumah petak yang sempit, ada keluarga dengan belasan hingga puluhan anak tinggal berdesakan.

“Ada orang tinggal di rumah petak anaknya 16, ada yang 11, bahkan ada 24. Anehnya, orang yang punya uang itu malah susah punya anak. Tapi orang miskin mudah sekali punya anak,” ucapnya.

Menurut Dedi, perbedaan ini mencerminkan ketimpangan pola hidup. Anak orang kaya kerap sulit makan hingga harus dipaksa, sementara anak orang miskin selalu lapar. 

“Hawa orang kaya kenyang terus, hawa orang miskin lapar terus. Itu yang saya lihat,” tambahnya.

Dedi menilai, cara negara mengatasi kemiskinan bukan sekadar meningkatkan pendapatan rakyat, melainkan mengurangi pengeluaran mereka. 

Pandangan itu ia sandarkan pada pengalaman pribadinya sebagai anak desa dari keluarga sederhana dengan sembilan bersaudara, yang tetap bisa sekolah hingga sarjana karena ibunya pandai mengatur belanja rumah tangga.

Baca juga: Dedi Mulyadi Kordinasi dengan Polisi Tangani Kasus Perempuan Sukabumi Korban TPPO di China

“Dulu yang penting ada beras dan garam, hidup sudah tenang. Sekarang, tidak punya kuota internet saja orang tidak tenang. Tidak bisa jalan-jalan juga tidak tenang. Ini problem baru,” katanya.

Dedi menyoroti perilaku kelas menengah bawah yang cenderung ingin meniru gaya hidup di atasnya, meski kemampuan ekonominya terbatas.

 Akibatnya, mereka memilih berutang untuk memenuhi gaya hidup.

“Pejabat jangan ikut memamerkan hidup mewah di media sosial. Misalnya posting belanja di Singapura atau makan di restoran mahal. Walaupun pakai uang sendiri, itu menimbulkan obsesi dan jadi contoh buruk,” ucap Dedi.

Menurutnya, akses pendidikan menjadi kunci utama untuk memutus rantai kemiskinan

Karena itu, lanjut dia, sejak awal memimpin, ia memfokuskan pembangunan infrastruktur sekolah dari SD hingga SMK.

Namun, Dedi juga menilai pentingnya menekan biaya tidak langsung pendidikan. 

“Yang mahal itu bukan SPP, tapi jajan, model, outing class, dan studi tour,” katanya. 

Ia bahkan melarang sekolah-sekolah di Jabar menggelar studi tour demi meringankan beban orang tua.

Dedi mengatakan, salah satu hal yang harus ditanamkan tradisi menabung sejak dini. 

Dengan begitu, anak-anak mempunyai kebiasaan untuk menyisihkan sebagian uang jajannya. 

Baca juga: Janji Dedi Mulyadi: Pemprov Jabar Siap Bangun 25 Rumah Panggung untuk Korban Banjir Karangligar

“Semiskin-miskinnya anak Jawa Barat, jajannya masih Rp5.000 sampai Rp10.000 per hari. Separuhnya bisa dipakai untuk investasi,” kata Dedi.

Ia juga meminta sekolah memulai kegiatan lebih pagi, pukul 06.30, agar anak terbiasa bangun lebih awal dan mengurangi kebiasaan nongkrong malam yang hanya menguras uang.

“Kalau jam 8 malam sudah tidur, mereka tidak nongkrong sampai jam 10 malam. Itu hemat. Pola hidupnya bisa berubah,” ujarnya.

Dedi menilai, tradisi memasak di rumah harus dihidupkan kembali karena menjadi kunci kesejahteraan keluarga miskin. 

Ia bahkan menyebut, tradisi ini berkaitan erat dengan layanan dasar lain seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

“Kalau keluarga memasak di rumah, pengeluaran bisa ditekan. Dari situ kesejahteraan terbentuk," ucap Dedi. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved