Psikolog Ungkap Cinderella Effect: Anak Tiri Lebih Rentan Kekerasan, Bahaya Setelah Perceraian

Kerentanan anak tiri terhadap kekerasan di rumah kembali mencuri perhatian publik, menyusul banyaknya temuan kasus penganiayaan anak.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
canva
ILUSTRASI PERCERAIAN - Kerentanan anak tiri terhadap kekerasan di rumah kembali mencuri perhatian publik, menyusul banyaknya temuan kasus penganiayaan yang melibatkan orangtua sambung. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kerentanan anak tiri terhadap kekerasan di rumah kembali mencuri perhatian publik, menyusul banyaknya temuan kasus penganiayaan yang melibatkan orangtua sambung.

Teranyar, seorang anak berusia empat tahun di Kota Bandung tewas dengan kondisi tubuh penuh lebam serta luka bakar. Dugaan sementara, balita tersebut menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh ibu tirinya.

Menurut Fahmi Windia Rahayu, Psikolog dari Santosa Hospital Bandung Central, fenomena keluarga tiri semakin sering dijumpai seiring meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kembali. 

Diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus perceraian tertinggi di Indonesia pada tahun 2024, yakni mencapai 88.842 kasus. 

Dia menyebut, anak tiri memiliki risiko kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak kandung. 

“Meskipun banyak keluarga tiri yang berfungsi dengan harmonis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak tiri berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami kekerasan dibandingkan anak kandung,” katanya, kepada TribunJabar.id, Senin (24/11/2025). 

Windia menuturkan, dalam perspektif psikologi evolusioner, fenomena ini sering dijelaskan melalui konsep Cinderella Effect, yakni kecenderungan munculnya pengabaian atau tindakan kekerasan dari orang tua tiri terhadap anak tiri dalam situasi tertentu. 

“Kerentanan tersebut bukan disebabkan semata-mata oleh status “tiri”, melainkan oleh dinamika internal keluarga tiri, faktor psikologis dan emosionalstepparent, serta tekanan sosial dan lingkungan yang mengelilingi keluarga,” jelasnya. 

Pada fase ini, anak tiri memasuki keluarga tanpa hubungan biologis dengan salah satu pengasuhnya. 

“Tidak adanya ikatan biologis membuat hubungan emosional harus dibangun dari awal, yang membutuhkan waktu dan proses yang tidak selalu mudah,” lanjutnya. 

Windia membeberkan, anak tiri juga sering berada dalam kondisi konflik loyalitas antara orang tua kandung dan orang tua tiri. 

Oleh karena itu, tak ayal mereka menunjukkan sikap menarik diri, cemas, hingga menolak. 

Kendati demikian, situasi ini kerap disalahartikan oleh orang tua tiri sebagai perilaku menantang atau tidak hormat, sehingga memicu reaksi keras. 

Windia menyoroti, pada masa kanak-kanak awal, anak yang bergabung dalam keluarga tiri cenderung belum memiliki kemampuan optimal untuk menilai bahaya dan melakukan perlindungan diri. 

“Ketergantungan tinggi pada orang dewasa membuat mereka lebih sulit melindungi diri dari tindakan kekerasan atau melaporkan kejadian yang mereka alami,” katanya. 

Di sisi lain, posisi orang tua tiri berbeda secara fundamental dari orang tua kandung. Menurutnya, tidak semua orang mampu atau siap menjalani peran pengasuhan kepada anak yang bukan darah dagingnya. 

“Tantangan emosional yang umum muncul meliputi rasa tidak dihargai, kecemburuan terhadap kedekatan anak dengan orang tua kandung, hingga perasaan bersaing untuk mendapatkanperhatian pasangan,” ucapnya. 

Bahkan, lanjut Windia, dalam beberapa kasus, orang tua tiri membawa serta jejak trauma masa lampau maupun riwayat kekerasan yang belum teratasi. 

“Kondisi ini memengaruhi toleransi stresdan kemampuan regulasi emosi mereka. Ketika situasi keluargamenekan, orang tua tiri yang tidak memiliki keterikatanemosional kuat dengan anak lebih rentan menunjukkan perilaku agresif atau pengabaian,” ujarnya. 

Dalam situasi tersebut, dapat memicu stress ketika orang tua tiri harus beradaptasi dengan peran baru tanpa dukungan sosial atau tanpa pengalaman pengasuhan sebelumnya. 

Kombinasi faktor ini dapat menciptakan kondisi emosional yang tidak stabil, yang pada akhirnya meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak tiri.

Selain itu, dikatakannya, keluarga tiri adalah bentuk keluarga yang kompleks. Pasalnya, setiap anggota membawa sejarah, ekspektasi, dan pola interaksi yang berbeda. 

Windia menjelaskan, konflik yang sering muncul ketika anggota keluarga mencoba menegosiasikan peran baru. 

Dalam keluarga tiri, ketidakseimbangan kekuasaan antara anak dan orang tua tirisering menciptakan ketegangan. 

“Orang tua tiri mungkin merasa perlu menegakkan otoritas, sedangkan anak dapat memandang bahwa orang tua tiri tidak memiliki “hak” yang sama sepertiorang tua kandung,” ucapnya. 

Dia menilai kesenjangan persepsi ini dapat memicu konflik berulang yang berpotensi mengarah pada kekerasan jika tidak dikelola dengan baik.

“Selain itu, rumah tangga dengan tingkat konflik pasangan tinggi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, hampir selalu menempatkan anak tiri dalam situasi berbahaya,” ujarnya. 

Windia membeberkan, pada kondisi tersebut, anak dapat menjadi sasaran pelampiasan emosi atau terkena dampaklangsung dari lingkungan yang penuh kekerasan.

Ketidakstabilan keluarga tiri, baik dari segi struktur, ekonomi, maupun emosional juga memperbesar tekanan psikologis bagi seluruh anggota keluarga, termasuk anak tiri.

“Kemudian tekanan ekonomi, kurangnya dukungan sosial, dan stigma sosial terhadap keluarga tiri dapat memperburuk kondisi internal keluarga. Ketika keluarga mengalami kesulitan finansialatau tinggal di lingkungan yang penuh tekanan, stres orang tuameningkat dan kemampuan mereka untuk mengasuh secarasensitif menurun,” jelasnya. 

Sehingga, potensi sasaran kekerasan dalam rumah tangga dilabuhkan pada anak tiri yang dipandang sebagai “beban tambahan” atau pemicu konflik. 

“Selain itu, di beberapa budaya, cara mendidik dengan kekerasan fisik masih dianggap sebagai metode disiplin yang wajar,” ucapnya. 

Normalisasi ini membuat kekerasan terhadap anak tiri mudah diabaikan atau dianggap sebagai bentuk pengasuhan yang sah, terutama bila dilakukan oleh orang tua tiri yang merasa memiliki otoritas baru.

Lebih lanjut, Windia menyoroti kerentanan anak tiri terhadap kekerasan merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor anak, kondisi psikologis orang tua tiri, dinamika keluarga tiri, serta tekanan sosial dan lingkungan. 

Dengan tidak adanya ikatan biologis, ketidakmatangan hubungan emosional, beban adaptasi pada stepparent, sertaketidakstabilan struktur keluarga membuat anak tiri berada pada posisi yang lebih rapuh. 

“Dengan memahami dinamika ini secara menyeluruh, intervensi dapat dilakukan lebih tepat sasaran, baik dalam bentuk dukungan psikologis bagi orang tua tiri, pendampingan keluarga, maupun penilaian yang cermat dalamproses hak asuh,” imbuhnya. 

Dia menambahkan, upaya perlindungan terhadap anak perlu dijadikan prioritas utama, terutama pada keluarga yang sedang menjalani proses transisi maupun reorganisasi, termasuk keluarga tiri. 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved