First Aider Bisa Jadi Penolong Pertama Untuk Luka Psikologis yang Tak Terlihat
Program Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis dirancang untuk memberikan dukungan psikologis dasar kepada individu yang mengalami kejadian berat.
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kementerian Kesehatan terus mendorong pemahaman dan keterampilan dasar pertolongan pertama untuk luka psikologis melalui Program Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP) yang dirancang untuk memberikan dukungan psikologis dasar kepada individu yang mengalami kejadian berat atau krisis.
Psikolog Klinis sekaligus Konselor dan Pengelola Layanan Konseling di Kementerian, Fifi Pramudika, menjelaskan pentingnya peran masyarakat sebagai “first aider” untuk mencegah dampak psikologis yang lebih berat. Fifi mengibaratkan P3LP sebagai “P3K versi psikologis”.
“Seperti halnya luka fisik yang bisa kita lihat dan langsung diberi obat merah, dibersihkan dengan antiseptik, lalu diperban, luka psikologis juga perlu ditolong. Bedanya, ini luka yang tidak terlihat luka tapi tak berdarah,” kata Fifi secara virtual, Selasa (18/11/2025).
Fifi menegaskan bahwa P3LP bukanlah konseling atau trauma healing. Program ini adalah penanganan cepat dan dasar, diberikan sesegera mungkin setelah seseorang mengalami kejadian yang dianggap berat.
“Tujuan P3LP itu mencegah agar suatu situasi yang berpotensi traumatis tidak berkembang menjadi trauma yang lebih berat. Jadi penanganan ini dilakukan sebelum proses konseling, sebagai upaya pencegahan,” ujarnya.
P3LP dirancang agar dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya psikolog atau tenaga kesehatan jiwa. Bentuknya bisa berupa memastikan keselamatan, memberikan rasa aman, atau menyediakan ruang bagi individu untuk menenangkan diri tanpa tekanan.
Fifi menekankan salah satu alasan pentingnya P3LP adalah keterbatasan jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, jumlah psikolog klinis maupun psikiater masih jauh dari mencukupi.
“Maka dibutuhkan first aider yang bisa membantu memberikan pertolongan pertama sebelum kasusnya berkembang. Sama seperti luka fisik, tidak semua harus langsung ditangani dokter spesialis,” kata Fifi.
Hadirnya first aider, kata Fifi, kasus-kasus ringan dapat ditangani lebih cepat sehingga tenaga profesional dapat fokus pada kasus berat.
Menurut Fifi, pada dasarnya siapa pun bisa menjadi first aider selama memiliki kemauan dan kemampuan memberikan pertolongan.
Namun first aider juga harus memastikan bahwa dirinya sedang berada dalam kondisi yang aman dan mampu memberikan bantuan, baik secara tenaga, pikiran, maupun waktu.
“Workload di fasilitas kesehatan kadang naik turun. Ada waktu di mana kita menolong diri sendiri saja tidak sanggup. Maka kalau kita memang sedang tidak memungkinkan, tidak apa-apa merujuk kepada rekan lain,” kata Fifi.
Menurutnya, membantu secara setengah-setengah justru bisa dirasakan oleh orang yang ditolong dan berpotensi menambah beban.
Semakin banyaknya first aider yang terlatih, dampak psikologis berat akibat kejadian traumatis dapat dicegah lebih dini.
“Ini adalah ikhtiar bersama agar luka psikologis tidak berkembang menjadi sesuatu yang lebih parah. Kita semua bisa berperan,” ucap Fifi.
| Fakta-fakta Ledakan SMAN 72 Jakarta: Terduga Pelaku Dirawat di RS Polri dan Polisi Gelar Konseling |
|
|---|
| Keracunan MBG Intai Siswa Jabar, Ini Langkah Pertolongan Pertama Keracunan Makanan menurut Kemenkes |
|
|---|
| Pulihkan Psikologi, IJTI Purwasuka Ajak Anak-anak Korban Pergerakan Tanah di Cigintung Ceria Kembali |
|
|---|
| Benarkah Tusuk Jari dengan Jarum Bisa Jadi Pertolongan Pertama Terkena Stroke? Ini Penjelasan Dokter |
|
|---|
| Begini Cara Edo Febriansah Berikan Pertolongan Pertama ke Tyronne Del Pino yang Ambruk |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/ILUSTRASI-KESEHATAN-JIWA.jpg)